Saat kampanye pemilihannya dulu, Donald Trump pernah menyebut bahwa "tarif adalah kata terindah dalam kamus." Enam bulan setelah kembali menjabat sebagai Presiden Amerika Serikat (AS), Trump mulai mewujudkan visinya soal perdagangan global secara nyata.
Pada 2 April lalu, Trump mengumumkan kebijakan yang mengejutkan banyak pihak, yakni semua barang impor ke Amerika Serikat akan dikenakan tarif dasar sebesar 10 persen. Tak berhenti di situ, sekitar 60 negara lainnya juga akan dikenakan "tarif timbal balik" dengan besaran lebih tinggi, sebagai balasan atas kebijakan dagang yang menurut Trump bersifat tidak adil. Ia menyebut negara-negara tersebut sebagai "pelanggar terburuk."
Tarif dasar mulai berlaku segera setelah pengumuman, sementara pemberlakuan tarif timbal balik sempat ditunda selama 90 hari karena menyebabkan gejolak di pasar keuangan. Per 1 Agustus, kebijakan tersebut resmi diberlakukan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Trump menegaskan bahwa tenggat waktu tersebut tidak akan berubah bahkan memperkuat pernyataannya lewat unggahan di platform media sosial Truth Social:
"INI TETAP BERLAKU, DAN TIDAK AKAN DIPERPANJANG," tulisnya dalam huruf kapital. Seraya menyebut, "HARI BESAR UNTUK AMERIKA!!!"
Sejumlah negara telah menandatangani kesepakatan dagang baru dengan Amerika Serikat untuk menghindari tarif tinggi. Namun, masih banyak negara lain yang belum mencapai kesepakatan, termasuk sekutu-sekutu dekat Amerika seperti Australia, Taiwan, dan Selandia Baru.
Negara yang sepakat menghindari tarif tambahan AS
Menjelang tenggat 1 Agustus, sejumlah negara mulai meneken kesepakatan dagang dengan Amerika Serikat untuk menghindari tarif tinggi yang diterapkan pemerintahan Trump.
Pada 27 Juli, Amerika Serikat danUni Eropa (UE) menyepakati bahwa seluruh produk Eropa yang masuk ke pasar AS akan dikenakan tarif dasar sebesar 15 persen. Ini termasuk sektor otomotif yang sangat penting bagi Eropa, yang sebelumnya dikenai tarif 25 persen sejak Trump menjabat pada Januari lalu. Sebagai imbalannya, Uni Eropa tidak akan mengenakan bea masuk terhadap barang-barang AS dan berkomitmen membeli energi Amerika senilai 750 miliar dolar AS (sekitar Rp12 kuadriliun), serta melakukan investasi sebesar 600 miliar dolar AS (sekitar Rp9,6 kuadriliun) di dalam negeri Amerika, menurut pernyataan Gedung Putih.
Kesepakatan tersebut, yang masih harus disetujui oleh seluruh 27 negara anggota Uni Eropa, telah mendapat kritik tajam. Perdana Menteri Prancis, Franois Bayrou, mengatakan pekan ini bahwa Uni Eropa telah menyerah dan menyebut hari Minggu (31/07) sebagai "hari kelam."
Inggris menjadi negara pertama yang mencapai kesepakatan dagang dengan AS pada Mei lalu. Produk-produk Inggris akan dikenai tarif dasar 10 persen, tetapi beberapa sektor mendapatkan pengecualian. Inggris masih dalam proses negosiasi untuk mendapat pengecualian dari tarif 25 persen yang dikenakan pada baja dan aluminium. Sebagai imbal balik, Inggris setuju untuk membuka pasarnya lebih luas bagi etanol dan daging sapi asal Amerika Serikat.
Nasib negara di Asia di tengah tarif Trump
Jepang juga meneken kesepakatan pada Juli. Dalam perjanjian itu, ekspor Jepang ke Amerika Serikat, termasuk sektor otomotif yang menyumbang 30 persen dari total ekspor Jepang ke AS pada 2024, akan dikenai tarif sebesar 15 persen. Namun, tarif sebesar 50 persen untuk baja dan aluminium tetap diberlakukan. Pemerintah AS menyebut bahwa Jepang akan melakukan investasi sebesar 550 miliar dolar ke dalam perekonomian Amerika sebagai bagian dari kesepakatan.
Sementara itu, Korea Selatan berhasil menurunkan ancaman tarif 25 persen menjadi tarif dasar 15 persen untuk semua barang ekspor mereka ke AS. Dalam pernyataannya pada Rabu (30/07), Trump menyebut bahwa Korea Selatan juga sepakat berinvestasi sebesar 350 miliar dolar (sekitar Rp5,6 kuadriliun) di berbagai proyek di Amerika, serta membeli produk energi seperti gas alam cair senilai 100 miliar dolar (sekitar Rp1,6 kuadriliun) dari AS. Selain itu, Korea Selatan juga akan menerima barang-barang asal Amerika, termasuk mobil dan hasil pertanian, tanpa mengenakan tarif masuk. Trump menegaskan bahwa kesepakatan ini menguntungkan semua pihak dan menyebutnya sebagai pencapaian besar.
Negosiasi juga telah berhasil diselesaikan dengan beberapa negara Asia lainnya. Filipina, eksportir utama produk teknologi tinggi dan pakaian jadi, menyepakati bahwa ekspornya akan dikenai tarif sebesar 19 persen. Vietnam, yang sempat diancam dengan tarif 49 persen, berhasil menegosiasikannya menjadi 20 persen untuk produk utama seperti pakaian dan alas kaki. Meski begitu, AS tetap akan menerapkan tarif sebesar 40 persen untuk barang-barang transshipment, yakni produk dari negara ketiga yang dikirim lewat Vietnam untuk menghindari tarif tinggi. Sebaliknya, produk Amerika akan masuk ke Vietnam tanpa dikenai bea masuk.
Ekspor Indonesia ke Amerika Serikat akan dikenai tarif sebesar 19 persen, tetapi Washington menyebut bahwa hampir seluruh produk Amerika akan masuk ke pasar Indonesia tanpa tarif.
Sementara itu, Pakistan, yang semula menghadapi ancaman tarif sebesar 29 persen sebagaimana diumumkan Trump pada 2 April, mengumumkan pada Kamis (31/07) bahwa mereka telah berhasil mencapai kesepakatan untuk menurunkan tarif tersebut. Sebagai bagian dari perjanjian, Amerika Serikat juga akan memberikan dukungan dalam pengembangan cadangan minyak nasional Pakistan.
Cina menghadapi kasus khusus
Cina, ekonomi terbesar kedua di dunia, menjadi kasus khusus. Washington dan Beijing saling menaikkan tarif pada produk masing-masing hingga lebih dari 100% sebelum akhirnya menurunkan sementara tarif tersebut untuk periode 90 hari. Masa jeda ini dijadwalkan berakhir pada 12 Agustus 2025.
Cina telah mengambil sikap agresif menanggapi ancaman Trump yang sempat ingin menerapkan tarif 145% pada impor dari Cina, dengan membalas melalui tarif balasan atas produk AS serta memblokir penjualan mineral tanah jarang dan komponen penting yang digunakan oleh industri pertahanan dan teknologi tinggi AS.
Negara-negara yang belum sepakat dengan Trump
Brasil menjadi salah satu negara yang menghadapi tekanan. Meski Brasil mengalami defisit perdagangan dengan AS, artinya Brasil lebih banyak mengimpor ketimbang mengekspor ke AS, Presiden Trump tetap mengancam akan menerapkan tarif 50% atas produk Brasil, dengan alasan politik.
Trump menyebut persidangan terhadap mantan Presiden Brasil Jair Bolsonaro sebagai "perburuan penyihir" dan menuntut agar Bolsonaro dibebaskan. Sebaliknya, Presiden Brasil saat ini, Luiz Inacio Lula da Silva, menyindir Trump dengan menyebutnya "kaisar", dan mengatakan ia tidak takut mengkritik Trump secara terbuka.
India juga masuk dalam daftar negara yang menghadapi sanksi dagang dari AS. Trump menuding India memiliki surplus dagang yang besar dan tetap menjalankan hubungan dagang dengan Rusia. Pada Rabu (30/07), ia mengumumkan tarif sebesar 25% untuk produk India, serta "hukuman tambahan" karena pembelian minyak dari Rusia, yang menurut Trump ikut mendanai perang di Ukraina.
Meski begitu, Trump masih menyebut India sebagai sekutu. Di platform Truth Social, ia menulis: "India adalah teman kita," tetapi seraya menambahkan bahwa "tarif India terhadap produk AS terlalu tinggi."
Kanada dan Meksiko hadapi ancaman Trump
Dua mitra dagang utama AS di kawasan Amerika Utara, Kanada dan Meksiko, juga tidak lepas dari tekanan. Padahal, perdagangan ketiga negara ini diatur dalam perjanjian dagang USMCA yang dirundingkan Trump saat masa jabatan pertamanya.
Awal Agustus, Trump mengancam akan menaikkan tarif atas produk Meksiko dari 25% menjadi 30%, dengan alasan kurangnya kerja sama dari pemerintahan Presiden Claudia Sheinbaum dalam mengamankan perbatasan bersama.
Meski demikian, Trump memutuskan memperpanjang tarif yang sudah ada selama 90 hari untuk memberi waktu tambahan dalam proses negosiasi.
Sementara itu, hubungan dagang AS-Kanada juga terguncang. Perdana Menteri Kanada Mark Carney pesimistis akan tercapai kesepakatan baru, terutama setelah Trump mengancam tarif 35% terhadap semua barang Kanada yang tidak tercakup dalam USMCA.
Trump telah lebih dulu mengenakan tarif 25% atas mobil dan suku cadangnya pada Maret, disusul tarif 50% untuk baja dan aluminium pada Juni. Tarif 35% baru akan berlaku untuk semua produk lainnya dari Kanada.
Artikel ini pertama kali terbit bahasa Inggris
Diadaptasi oleh Rahka Susanto
Editor: Hani Anggraini
Tonton juga video "Trump Bahas Negosiasi Tarif dengan India, Singgung Keanggotaan BRICS" di sini:
(ita/ita)