Presiden Cina Xi Jinping bertemu dengan Presiden Komisi Eropa Ursula von der Leyen dalam pertemuan puncak di Beijing, Kamis (26/7) pekan lalu. Namun, pertemuan yang diwarnai ketegangan itu tak menghasilkan terobosan berarti dalam isu geopolitik, serta cuma mencatat sedikit kemajuan dalam perdagangan serta perubahan iklim.
Konferensi tingkat tinggi di Beijing digelar di tengah hubungan yang terus memburuk antara Cina dan Uni Eropa (UE). Brussels melontarkan kekhawatiran soal membanjirnya produk murah asal Cina di pasar Eropa, serta dugaan dukungan Beijing terhadap invasi Rusia ke Ukraina.
Pemerintah Cina membantah tuduhan tersebut dan sebaliknya mendesak UE mengelola perselisihan dalam konteks menguatkan kemitraan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Seiring dengan pendalaman kerja sama, ketidakseimbangan pun makin terasa," kata von der Leyen kepada Xi. Dia menyebut ketimpangan perdagangan UE-Cina telah mencapai titik kritis. "Cina harus hadir dengan solusi nyata," ujarnya.
Presiden Xi menepis pernyataan tersebut. Kepada von der Leyen dan Presiden Dewan Eropa Antonio Costa, dia menegaskan bahwa tidak ada "konflik kepentingan mendasar" antara kedua pihak.
"Uni Eropa perlu menangani perbedaan dan gesekan secara bijak," kata Xi. Dia juga meminta Brussels agar menjaga pasar tetap terbuka dan tidak menggunakan "instrumen pembatas ekonomi dan perdagangan".
Iklim jadi titik temu
Meski berselisih dalam isu Ukraina dan ketimpangan dagang, kedua pihak menemukan titik temu dalam kerja sama iklim. EU dan Cina mengeluarkan pernyataan bersama untuk memperdalam kolaborasi dalam transisi energi hijau.
Salah satu hasil konkret adalah kesepakatan membentuk "mekanisme suplai ekspor yang ditingkatkan," guna mempercepat pemberian lisensi untuk logam tanah jarang. Suplai komoditas strategis ini dikendalikan ketat oleh Cina yang mendominasi pasar dunia.
Logam tanah jarang yang mencakup hingga 17 unsur logam itu merupakan komponen vital bagi sektor teknologi tinggi dan energi terbarukan.
Namun, pengamat menilai hasil pertemuan di Beijing belum cukup untuk mengubah arah hubungan EU-Cina. "Eropa harus bersiap menghadapi persaingan jangka panjang dan mempertimbangkan ulang strateginya terhadap Cina," kata Abigael Vasselier dari Mercator Institute for China Studies (MERICS) dalam jumpa pers secara daring.
Sanksi dan ketegangan jelang pertemuan
Pertemuan ini digelar menyusul rangkaian ketegangan antara kedua pihak. Awal Juli lalu, UE untuk pertama kalinya memasukkan bank dan perusahaan Cina dalam paket sanksi sekunder terhadap Rusia. Beijing merespons dengan ancaman tindakan balasan yang disebut bisa "merusak hubungan ekonomi dan keuangan".
Von der Leyen dalam pidatonya bahkan menuduh Cina "secara de facto" menopang ekonomi perang Rusia. Dia kembali menyuarakan sikap tersebut dalam konferensi pers seusai pertemuan, dengan mendesak Cina menggunakan pengaruhnya agar Rusia mau bernegosiasi secara serius.
Zsuzsa Anna Ferenczy dari Free University di Brussels menilai Uni Eropa menunjukkan sikap konsisten. "Eropa harus teguh dan tidak membiarkan Cina memecah-belah persatuan Eropa," kata Ferenczy kepada DW.
Menjelang pertemuan, muncul kabar mengenai ujaran Menteri Luar Negeri Cina Wang Yi, yang diduga mengatakan kepada diplomat tertinggi UE bahwa kekalahan Rusia di Ukraina tidak menguntungkan bagi Cina. Komentar itu semakin memperkeruh suasana.
Peneliti ekonomi Cina di Chung-Hua Institution, Wang Guochen, mengatakan pertemuan ini kembali menunjukkan kecilnya peluang perbaikan hubungan Cina-UE. "Ketegangan justru makin terlihat," kata dia.
Apa yang diinginkan Cina?
Dalam pidatonya, Xi Jinping beberapa kali menyerukan "situasi saling menguntungkan" dan mengajak Eropa mendorong multipolarisasi global serta globalisasi ekonomi yang inklusif.
Menurut Grzegorz Stec dari MERICS, Beijing ingin melemahkan strategi "de-risking" Uni Eropa dan mempertahankan akses pasar selama mungkin. Cina kini mengalami kelebihan kapasitas produksi, di tengah rendahnya konsumsi domestik dan deflasi selama 33 bulan berturut-turut hingga Juni lalu.
"Cina memproduksi terlalu banyak. Mereka butuh pasar luar, dan Eropa masih sangat penting," ujar Stec.
Beijing dituduh memanfaatkan kontrol ekspor terhadap logam tanah jarang untuk menekan Eropa agar mengurangi tarif hingga 45 persen terhadap mobil listrik buatan Cina. Berdasarkan aturan baru, setiap pengiriman material ini harus dilengkapi lisensi dan dokumen penggunaan.
Namun, kesepakatan soal "mekanisme suplai ekspor yang ditingkatkan" dinilai belum cukup memenuhi harapan pelaku usaha Eropa yang menuntut pelonggaran kontrol ekspor.
Sudut pandang Beijing
Dari perspektif Cina, pertemuan ini tetap bisa dianggap sebagai sebuah capaian positifβterutama di tengah hubungan Transatlantik yang juga memanas. Pada akhir pekan setelah pertemuan, Eropa mengumumkan kesepakatan dagang dengan Amerika Serikat yang bakal meningkatkan tarif umum sebesar 15 persen terhadap impor dari UE. Meski lebih rendah dari usulan awal sebesar 30 persen, tarif tersebut tetap lebih tinggi dari ketentuan sebelumnya.
Beberapa negara anggota seperti Jerman dikabarkan sempat mempertimbangkan sanksi anti-pemaksaan jika kesepakatan dengan Washington gagal dicapai sebelum 1 Agustus.
"Cina ingin tampil sebagai pihak yang membawa solusi, pendukung perdamaian di tengah dunia yang tidak menentu," kata Ferenczy. "Inilah narasi yang kerap diusung Beijingβbaik ke publik internasional maupun domestik."
Namun, tidak semua pengamat sependapat bahwa Cina mendapat keuntungan dari pertemuan ini. "Dari sudut pandang saya, justru Cina yang kalah," ujar Wang Guochen. "Hubungan UE dan AS memang sedang renggang, tapi Cina tetap gagal merebut simpati Eropa."
Artikel ini pertama kali terbit dalam Bahasa Inggris
Diadaptasi oleh Rizki Nugraha
Editor: Ayu Purwaningsih