Koalisi pemerintahan Jepang yang dipimpin oleh Perdana Menteri (PM) Shigeru Ishiba kehilangan kursi mayoritas di parlemen dalam pemilu pada Minggu (20/07) setelah partai-partai populis sayap kanan meraih banyak suara. Ini menjadi pertanda bahwa populisme sayap kanan dan polarisasi kini mengancam stabilitas politik di Jepang.
Untuk saat ini, PM Ishiba bersikeras tetap menjabat sebagai perdana menteri, meskipun ini adalah kekalahan keduanya dalam sembilan bulan terakhir. Partai Demokrat Liberal (LDP) yang dipimpinnya juga kalah dalam pemilu dini Oktober lalu, menjadikannya partai minoritas yang memerintah bersama koalisi.
Ishiba mengatakan, dirinya akan "menerima hasil ini dengan rendah hati" dan "tetap bertanggung jawab atas urusan kenegaraan."
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Namun, kelanjutan masa jabatan PM Ishiba kini tidak lagi bergantung padanya. Oposisi yang semakin kuat bisa menjatuhkannya kapan saja lewat Mosi Tidak Percaya, meski oposisi belum cukup bersatu untuk membentuk koalisi pemerintahan sendiri.
Ishiba juga menghadapi ancaman pemberontakan dari dalam partainya sendiri, yang telah memerintah Jepang hampir tanpa henti selama 70 tahun dan selalu menguasai setidaknya satu kamar parlemen.
Tokoh senior konservatif LDP, Taro Aso, menyatakan bahwa ia "tidak bisa menerima" Ishiba sebagai perdana menteri Jepang.
Namun, calon pengganti potensial Ishiba tampaknya masih perlu menunggu. "Tidak ada yang mau menggantikan Ishiba di masa sulit seperti ini bagi LDP," kata ilmuwan politik Masahiro Iwasaki dari Universitas Nihon di Tokyo kepada DW.
Koalisi pemerintahan Jepang nyaris gagal
Koalisi yang berkuasa, LDP dan Partai Komei yang beraliran Buddha, gagal mencapai target untuk mempertahankan kursi mayoritas di majelis tinggi parlemen. Perolehan suara mereka hanya terpaut tiga kursi dari mayoritas, hasil yang mengejutkan karena selisihnya sangat tipis. Dari total 248 kursi, 125 kursi diperebutkan dalam pemilu kali ini.
LDP kemungkinan akan mencoba menarik beberapa anggota parlemen independen ke dalam koalisi. Namun, kalau pun upaya ini berhasil, posisi pemerintahan tetap masih tidak stabil.
Salah satu opsi bagi Ishiba adalah memperluas koalisi pemerintahannya. Namun, partai-partai oposisi utama sudah menyatakan tidak akan bergabung dalam koalisi besar. Mereka tampaknya meragukan Ishiba masih dapat menjabat sebagai perdana menteri dan pemimpin LDP dalam waktu dekat.
Ini membuat politisi berusia 68 tahun itu hanya memiliki opsi kerja sama selektif dengan partai oposisi tertentu, strategi yang telah dilakukan sejak kehilangan mayoritas di pemilu dini pada akhir Oktober lalu.
Namun, strategi ini tidak akan berhasil tanpa kompromi politik yang menyakitkan, misalnya dalam isu soal pajak. Sebelum pemilu, Ishiba menolak tuntutan oposisi untuk menurunkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) pada makanan. Sebagai gantinya, ia menjanjikan pembayaran tunai sebesar 20.000 yen (sekitar Rp2,2 juta) kepada setiap warga sebelum akhir tahun, sebagai kompensasi atas hilangnya daya beli akibat inflasi tinggi.
Lonjakan dukungan terhadap partai sayap kanan di Jepang
Menurut media Jepang, kekalahan LDP terjadi karena banyak pemilih merasa tidak puas dengan penurunan upah riil selama tiga tahun terakhir akibat inflasi tinggi, serta lonjakan jumlah pekerja asing dan turis mancanegara.
Dua partai populis sayap kanan yang masih muda menjadi pihak yang paling diuntungkan dari situasi ini. Sementara partai oposisi terbesar, Partai Demokrat Konstitusional yang dipimpin mantan PM Yoshihiko Noda, nyaris tidak mendapat keuntungan apa pun.
Kedua partai itu adalah Partai Sanseito, yang baru berusia lima tahun, meningkatkan perolehan kursinya di majelis tinggi dari dua menjadi 14 kursi, dan Partai Demokrat untuk Rakyat, naik dari sembilan menjadi 17 kursi.
Partai Sanseito mengusung slogan xenofobia, "Utamakan Jepang" dalam kampanye pemilu dan menuduh pemerintah menjalankan "kebijakan imigrasi terselubung."
Jumlah penduduk asing di Jepang meningkat 10% tahun 2024, menjadi hampir 4 juta orang. Partai Sanseito mengklaim, perekrutan tenaga kerja asing untuk mengatasi populasi Jepang yang semakin menua, akan mengganggu harmoni sosial di negara itu.
Pendiri Partai Sanseito, Sohei Kamiya mengatakan bahwa partainya meniru model partai ekstrem kanan Jerman, Partai AfD dan partai populis sayan kanan Eropa lainnya.
Sementara itu, Partai Demokrat untuk Rakyat yang dipimpin tokoh karismatik Yuichiro Tamaki kini menjadi kekuatan ketiga terbesar dalam sistem politik Jepang, yang memberi bobot lebih besar pada tuntutan utama partai itu soal pemotongan pajak.
"Kedua partai sayap kanan ini berhasil memanfaatkan kemarahan generasi muda terhadap sistem politik," kata analis Tobias Harris kepada DW, mengutip gerontokrasi atau sistem pemerintahan yang didominasi oleh generasi lanjut usia, inflasi, dan upah yang stagnan sebagai faktor utamanya.
Artikel ini terbit pertama kali dalam bahasa Jerman
Diadaptasi oleh Khoirul Pertiwi
Editor: Prihardani Purba
Lihat juga Video: Tingkah WNI di Jepang Disorot: Dari Perampokan sampai Geng TKI
(ita/ita)