Menurut laporan Dewan Penasihat Khusus untuk Myanmar (SAC-M), bom yang diproduksi dengan dukungan perusahaan milik Cina banyak digunakan oleh Angkatan Udara Myanmar dalam serangan terhadap warga sipil.
Laporan berjudul "Factory of Death" menyoroti kerja sama antara China South Industri dan pabrik senjata DI 21 di Magway, Myanmar. SAC-M menyatakan bahwa China South dan anak perusahaannya, Hunan Vanguard, memainkan peran penting dalam membangun fasilitas produksi bom tersebut.
Penelitian ini didasarkan pada data terbuka, dokumen resmi, kesaksian, dan analisis para ahli.
Laporan menyebut perusahaan Cina mengirim teknisi ke Myanmar, melatih staf pabrik DI 21 di Cina, serta memasok komponen utama bom. Bantuan teknis jarak jauh juga disebut masih berlangsung.
SAC-M menambahkan bahwa industri pertahanan junta sangat bergantung pada pasokan luar negeri, termasuk mikroelektronik, untuk memproduksi bom di fasilitas tersebut.
Cina dukung produksi senjata di Myanmar?
Yanghee Lee, pendiri SAC-M, menyuarakan agar Cina menghentikan dukungan militernya kepada junta Myanmar. Ia menegaskan bahwa China South, sebagai perusahaan milik negara, turut bertanggung jawab atas pelanggaran terhadap warga sipil melalui dukungannya dalam produksi bom udara.
Marzuki Darusman, mantan jaksa agung Indonesia dan juga pendiri SAC-M, menambahkan bahwa keterlibatan Cina akan meninggalkan jejak mendalam di benak rakyat Myanmar. "Alih-alih dilihat sebagai kekuatan perdamaian, Cina kini dipandang sebagai penyokong penderitaan mereka," katanya dalam siaran pers.
Serangan udara junta meningkat drastis
Sejak kudeta militer 2021, junta Myanmar kehilangan kendali atas sebagian besar wilayah negara. Sebagai respons, mereka semakin mengandalkan serangan udara terhadap kelompok yang mereka sebut sebagai teroris.
Namun, narasi ini dipertanyakan, terutama setelah pengeboman di desa Pa Zi Gyi, Sagaing, pada 2023 yang menewaskan 155 orang, termasuk anak-anak, menurut PBB. Serangan udara terus berlanjut, termasuk serangan pekan lalu di sebuah biara Buddha yang menewaskan 23 orang.
Dalam laporan terbarunya, SAC-M mencatat penggunaan intensif jet tempur, helikopter, dan drone oleh militer. Mereka memperkirakan 750 serangan udara terjadi hanya dalam empat bulan terakhir 2023, dengan rata-rata enam serangan per hari di 11 wilayah Myanmar.
Hak veto Cina di PBB picu kritik internasional
Khin Ohmar, advokat perdamaian dan keamanan Myanmar, menyatakan bahwa laporan SAC-M memperkuat dugaan keterlibatan Cina dalam konflik di Myanmar.
Ia menuduh industri pertahanan Cina berperan dalam memungkinkan ribuan serangan udara oleh junta yang menargetkan warga sipil, termasuk kelompok rentan seperti anak-anak dan pengungsi internal.
Ohmar juga mengkritik penggunaan hak veto Cina di Dewan Keamanan PBB untuk memblokir embargo senjata, yang menurutnya memperpanjang aliran senjata ke junta. Ia menilai tindakan tersebut sebagai bentuk campur tangan yang melanggar hak asasi manusia dan hukum internasional, dan menyerukan akuntabilitas.
Manfaatkan teknologi dalam strategi militer Myanmar
Meski ada sanksi Barat, Cina tetap menjadi sekutu utama junta Myanmar sejak kudeta 2021. Selain memasok senjata dan berinvestasi di sektor energi, Cina mempererat hubungan melalui dukungan pasca gempa Maret dan pertemuan antara Min Aung Hlaing dan Xi Jinping.
Menurut Jason Towers, mantan direktur United States Peace Institute untuk Myanmar, hubungan antara junta dan aktor-aktor Cina, termasuk pemerintah provinsi Yunnan dan perusahaan milik negara semakin erat. Mereka disebut mendorong kesepakatan ekonomi baru dan menyediakan teknologi yang memperkuat posisi militer junta di medan perang.
DW menghubungi Kedutaan Besar Cina di Myanmar dan Dewan Negara Cina untuk meminta komentar tetapi belum menerima balasan hingga berita ini diterbitkan.
Artikel ini pertama kali terbit dalam bahasa Inggris
Diadaptasi oleh Levie Wardana
Editor: Rahka Susanto
Simak juga Video 'Junta Militer Myanmar Tolak Gencatan Senjata Meski Korban Gempa Meningkat':
(ita/ita)