Di tengah ketidakpastian dinamika kawasan Asia Tenggara, para negara anggota masih berupaya memperkuat perjanjian Kawasan Bebas Senjata Nuklir Asia Tenggara (Southeast Asia Nuclear Weapon Free Zone/SEANWFZ), atau lebih dikenal sebagai "Kesepakatan Bangkok" yang telah eksis sejak puluhan tahun.
Saat ini, kekuatan global saling bersaing mengukuhkan posisinya di Asia Tenggara. Sementara, Asosiasi Negara Asia Tenggara (ASEAN) juga terus memperbarui upayanya untuk perlucutan senjata nuklir.
Sebetulnya, ASEAN telah lama mendesak Cina, Amerika Serikat (AS), Inggris, Rusia dan Prancis untuk menandatangani SEANWFZ. ASEAN mengadopsi traktat tersebut sejak tahun 1995 dengan tujuan menjaga kawasannya bebas dari "senjata nuklir dan senjata pemusnah massal lainnya", tapi mengizinkan pemanfaatan nuklir untuk tujuan damai.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menindaklanjuti Forum Regional ASEAN di Kuala Lumpur awal Juli 2025, Malaysia selaku Ketua Blok ASEAN saat ini, mendesak negara dengan kekuatan nuklir supaya "mengakui pentingnya untuk menghapus senjata nuklir secara keseluruhan."
Menteri Luar Negeri Malaysia Mohamad Hasan menegaskan, Beijing telah memberikan konfirmasinya untuk mendukung SEANWFZ.
"Cina telah membuat komitmen, untuk memastikan bahwa mereka akan menandatangani perjanjian tanpa syarat," kata Mohamad Hasan kepada wartawan di sela-sela acara Forum Regional ASEAN, Juli 2025.
AS dan Rusia bakal setuju SEANWFZ?
Hasan juga mengindikasikan, Rusia yang memiliki gudang senjata nuklir terbesar di dunia, juga akan menandatangani perjanjian tersebut.
Meskipun Moskow belum berkomentar mengenai masalah ini, tapi Menteri Luar Negeri Rusia Sergey Lavrov mengunjungi Malaysia awal Juli 2025 untuk serangkaian pertemuan penting.
Dalam Forum ASEAN tersebut, Menteri Luar Negeri AS Marco Rubio juga hadir untuk beberapa pembicaraan multilateral dan bilateral. Hanya saja, niatan Amerika Serikat untuk menandatangani SEANWFZ masih belum dapat dipastikan.
Saat ini, Washington dan Moskow bersaing ingin memantapkan pengaruh mereka di kawasan ASEAN, termasuk di bidang energi nuklir. Alasannya, beberapa negara ASEAN disebut mencari mitra luar untuk mengembangkan program nuklir sipil mereka.
Pudarnya tatanan global
Namun, kemitraan dengan Washington mungkin tidak dapat diandalkan lagi seperti sebelumnya. Pasalnya, pemerintahan Presiden Donald Trump menerapkan kebijakan luar negeri yang tidak menentu dan berubah-ubah. Hal itu, secara garis besar membuat Asia Tenggara memiliki kesan, aturan dan norma tatanan internasional runtuh.
Merespons hal itu, sebagian besar negara Asia Tenggara meningkatkan hubungan dengan Rusia dan Cina dalam beberapa bulan terakhir. Tren ini merupakan pengakuan atas pernyataan Menlu Rusia Lavrov, yang menyebutkan komunitas internasional sedang terpecah menjadi tatanan global yang multipolar.
Hal ini memberi ruang bagi Cina untuk memperluas pengaruh diplomatiknya, dengan mengorbankan Washington. Lewat dukungannya atas SEANWFZ, Beijing ingin menunjukkan bahwa mereka "peduli pada ASEAN, pada saat yang sama, ketika AS berpotensi mengenakan tarif pada negara-negara Asia Tenggara, dan mencoba menggunakan ASEAN untuk mengisolasi Cina, yang tidak ingin dilakukan oleh mereka," kata Peneliti Senior untuk Asia Tenggara di Dewan Hubungan Luar Negeri (Council on Foreign Relations) Joshua Kurlantzick kepada DW.
"Cina tidak kehilangan apa pun, karena kecil kemungkinannya mereka perlu menggunakan senjata nuklir di Asia Tenggara," imbuhnya.
Selain itu, Beijing kini dapat menunjukkan perbedaan antara kebijakannya sendiri, dengan pakta AUKUS yang melibatkan AS, Inggris, dan Australia. Kesepakatan antara ketiga negara itu mengizinkan penggunaan kapal selam bertenaga nuklir di kawasan Asia Pasifik.
Cina kirim kapal selam ke Laut Cina Selatan
Profesor di National War College di Washington, Zachary Abuza, mengatakan kepada DW, "Cina pasti tidak akan mematuhi ketentuan SEANWFZ."
Isi Perjanjian SEANWFZ mewajibkan penandatangannya untuk tidak memindahkan senjata nuklir melalui wilayah atau jalur perairan kawasan ASEAN. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, Cina dituduh telah melakukan "pengerahan" sejumlah kapal selamnya di Laut Cina Selatan, wilayah sengketa maritim yang diklaim oleh beberapa negara Asia Tenggara, termasuk Beijing.
Kantor berita Reuters pada 2023 melaporkan, Cina telah mulai mengoperasikan setidaknya satu kapal selam peluncur rudal balistik bertenaga nuklir di laut. Selain itu, Cina juga menjalankan patroli laut mulai dari kawasan Hainan hingga Laut Cina Selatan.
Militer AS tahu lalu menyebut bahwa Beijing tengah mempersiapkan reaktor nuklir terapung di dekat pulau-pulau buatan yang direklamasinya di Laut Cina Selatan.
Citra Beijing sebagai pihak andal
Menurut Pentagon, Cina diyakini memiliki ratusan hulu ledak nuklir operasional. Selain itu, Beijing juga terus memperluas sistem senjata nuklirnya.
"Namun, fakta bahwa Beijing bersedia menjadi kekuatan nuklir luar yang pertama menandatangani SEANWFZ, adalah langkah diplomatis yang cerdik dan setidaknya memberikan penghormatan verbal pada ASEAN," ungkap Abuza, sambil merujuk pada konsep bahwa ASEAN harus menjadi jantung diplomasi Asia-Pasifik.
"Cina melakukan segala cara, untuk menggambarkan dirinya sebagai pemangku kepentingan yang bertanggung jawab di kawasan tersebut, berkomitmen pada aturan dan norma. Beijing ingin melukiskan Washington sebagai pengganggu status quo, dan pertumbuhan ekonomi di kawasan," terang Abuza.
Menurut ilmuwan politik dan pendiri buletin mingguan ASEAN Wonk, Prashanth Parameswaran, upaya nonproliferasi yang sesungguhnya, membutuhkan lebih dari sekadar menandatangani perjanjian SEANWFZ.
"Visi kawasan bebas senjata nuklir, secara historis memiliki bobot normatif di antara beberapa negara ASEAN, termasuk Malaysia", ujar dia kepada DW.
Namun, Parameswaran menekankan, "tidak ada satu pun di kawasan ini punya ilusi, hal ini saja akan membatasi apa yang akan dilakukan negara adidaya nuklir, atau membalikkan situasi yang mengkhawatirkan kelompok nonproliferasi secara umum."
Bagaimana nuklir Indonesia?
Lewat laman resmi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), pemerintah telah memasukkan energi nuklir jadi bagian dari sistem energi nasional pada tahun 2060. Energi nuklir dimasukkan sebagai alternatif strategis salah satu energi penyeimbang gabungan energi nasional.
Menurut roadmap transisi energi dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025-2045, Indonesia berencana akan membangun dan mengoperasikan PLTN komersial pertama berkapasitas 250 megawatt.
Menurut Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN) Tahun 2024, kapasitas pembangkit tenaga listrik Indonesia menuju net zero emission (NZE) pada 2060, diproyeksikan mencapai 443 gigawatt. Diproyeksikan pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) dengan kapasitas 35 gigawatt dapat menghasilkan 7,9 persen listrik.
Artikel ini terbit pertama kali dalam bahasa Inggris.
Diadaptasi oleh: Muhammad Hanafi
Editor: Agus Setiawan
Simak juga Video: Pentagon Klaim Fasilitas Nuklir Iran Hancur Total: Mundur 2 Tahun