Malaysia Hadapi Meningkatnya Konservatisme Islam

Malaysia Hadapi Meningkatnya Konservatisme Islam

Deutsche Welle (DW) - detikNews
Selasa, 15 Jul 2025 11:07 WIB
Jakarta -

Lanskap politik Malaysia mengalami perubahan besar dalam beberapa tahun terakhir, yang ditandai oleh meningkatnya pengaruh partai-partai Islam. Meski merupakan salah satu negara dengan keragaman etnis terbesar di Asia Tenggara, meningkatnya ketidakpuasan publik terhadap agenda liberal koalisi pemerintah menjadi tantangan besar bagi Perdana Menteri Anwar Ibrahim dalam mempertahankan kekuasaannya.

Saat ini, koalisi oposisi Perikatan Nasional (PN), yang merupakan aliansi lima partai termasuk Partai Islam Se-Malaysia (PAS), terus mencatatkan lonjakan popularitas dan kemenangan elektoral dalam satu dekade terakhir. Barisan oposisi mencetak keberhasilan mengejutkan dalam pemilu negara bagian 2023, memenangkan 146 dari 245 kursi yang diperebutkan dan membentuk pemerintahan di sejumlah negara bagian.

Pemilu tersebut menjadi titik balik penting yang memperkuat dominasi PN di negara-negara bagian utara dan pantai timur, serta menunjukkan pengaruh yang terus tumbuh, terutama di kalangan pemilih muda dan Melayu konservatif.

Gelombang Hijau di Malaysia?

Di negara bagian yang dikuasai PAS seperti Kelantan, Terengganu, Kedah, dan Perlis, partai ini mendorong kebijakan-kebijakan yang selaras dengan ideologi Islam konservatif, termasuk upaya penerapan hudud (hukum pidana Islam), penegakan kode berpakaian ketat, serta promosi segregasi gender di ruang publik.

Fenomena ini kerap disebut sebagai "gelombang hijau," yang mencerminkan lonjakan dukungan terhadap kebijakan Islam konservatif di Malaysia.

"Malaysia sejak dulu adalah masyarakat konservatif yang mempraktikkan demokrasi liberal. Islam adalah inti dari identitas nasional kita. Jadi mempertahankan nilai-nilai Islam, atau membentuk masyarakat menuju cita-cita Islam, bukanlah hal baru," ujar Wan Saiful Wan Jan, seorang politisi dan anggota parlemen, kepada DW.

Namun, Wan Jan juga menyoroti adanya upaya dari "sebagian pihak" untuk mengurangi pengaruh sejarah, warisan, dan identitas multireligius serta multi-etnis Malaysia dalam perumusan kebijakan.

"Pemerintahan Anwar Ibrahim menggunakan apa yang disebut 'Islamisasi' sebagai momok untuk menutupi kegagalan mereka dalam memerintah dan melakukan reformasi. Kita tidak boleh membiarkan sandiwara ini mengaburkan masalah nyata yang kita hadapi, yakni pemerintahan yang tidak kompeten," tambahnya.

Ancaman Islamisasi politik?

Malaysia adalah negara mayoritas Muslim dengan tiga kelompok etnis utama: Melayu, Tionghoa, dan India. Etnis Melayu mencakup sekitar 60% dari lebih 35 juta penduduk, sementara etnis Tionghoa sekitar seperempat dan etnis India sekitar 7%.

Meski hidup berdampingan relatif damai, ketegangan rasial, budaya, dan agama tetap tercatat sepanjang sejarah Malaysia. Kesenjangan etnis juga diperparah oleh kebijakan-kebijakan selama puluhan tahun yang mengutamakan kelompok Melayu yang dominan secara politik.

Ayo berlangganan newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!

Meski pemerintahan Anwar tidak secara terbuka mengadopsi konservatisme religius ala PAS, langkah-langkah seperti memperkuat struktur pemerintahan Islam dan terlibat dalam advokasi Islam menunjukkan respons terhadap pengaruh politik oposisi yang kian menguat.

Walaupun belum menjadi ancaman langsung karena Anwar masih memiliki mayoritas di parlemen, pengaruh PAS menjadi ancaman jangka panjang terhadap agenda politik dan peluang pemilihannya kembali.

James Chin, profesor Studi Asia di University of Tasmania sekaligus pakar Asia Tenggara, menyebut kebangkitan Islam politik sebagai tantangan terbesar yang dihadapi Malaysia saat ini dan di masa mendatang.

"Kaum Islamis telah mendedikasikan diri untuk mendirikan banyak sekolah agama Islam guna mencuci otak anak-anak muda Melayu… pada dasarnya mengajarkan bahwa Islam adalah jawaban atas segalanya," kata Chin kepada DW.

"Mereka ingin menjauh dari kurikulum nasional dan menciptakan kurikulum mereka sendiri, yang pada dasarnya hanya mengajarkan Islam, politik Islam, dan tidak ada yang lain," tambahnya.

Namun, yang lebih mengkhawatirkan menurut Chin adalah kegagalan partai-partai politik Melayu-Muslim yang ada dalam membangun Malaysia dan menyediakan lapangan kerja serta pendidikan berkualitas.

"Oleh karena itu, anak-anak muda Melayu mulai kecewa dengan sistem yang ada, dan mereka berpaling ke Islam. Pesan yang mereka terima adalah, jika sistem politik atau pemerintahan Islam diterapkan, maka korupsi akan lenyap dan hidup mereka akan lebih baik," tegasnya.

"Dalam beberapa tahun ke depan, Malaysia akan menjadi jauh lebih konservatif, dan Islam akan semakin dibirokratisasi."

Dukungan umat meningkat

Masih belum jelas apakah politisi PN benar-benar didorong oleh keyakinan religius atau hanya memanfaatkan agama sebagai alat politik.

Pemerintah saat ini kerap menggambarkan pendekatannya sebagai "Madani," atau Islam moderat, tetapi beberapa pengamat menyatakan bahwa secara praktis, kebijakannya tidak jauh berbeda dari oposisi dalam isu-isu keagamaan utama.

Ada pula tanda-tanda bahwa segmen besar pemilih Melayu-Muslim mendukung Islamisasi lebih jauh di masyarakatβ€”yang berpotensi berdampak terhadap kesejahteraan kelompok etnis lain di negara tersebut.

Survei Pew Research Center tahun 2023, misalnya, menunjukkan bahwa 86% Muslim Malaysia mendukung penerapan Syariah sebagai hukum resmi, sementara 65% menyatakan bahwa Al-Qur'an seharusnya sangat mempengaruhi hukum di Malaysia.

Analisis dari Nordic Counter-Terrorism Network, sebuah lembaga pemikir non-partisan, menemukan bahwa beberapa kelompok Islamis radikal yang berbasis di Eropa juga berencana memindahkan operasinya ke Malaysia.

"Para radikal Islam asing mulai berbondong-bondong ke Malaysia karena mereka tahu kebijakan negara ini lemah dalam menangani radikalisme," kata Adrin Raj, direktur jaringan tersebut, kepada Free Malaysia Today, pekan lalu. Ia menyebutkan bahwa kebijakan pemerintah saat ini gagal mengatasi gejala maupun akar penyebab radikalisasi agama.

Islamisasi: cuma gimik politik?

Wee Choo Keong, seorang politisi yang pernah menjadi anggota Partai Aksi Demokratik (DAP), mengatakan kepada DW bahwa dorongan terhadap Islamisasi di Malaysia kerap digunakan sebagai alat untuk "gimik politik dan kepentingan sesaat," yang menurutnya tidak akan bertahan lama.

"Ada banyak penyebaran ketakutan akhir-akhir ini untuk mengonsolidasikan kekuasaan. Pemanfaatan retorika agama secara oportunistik, terutama selama masa pemilu atau krisis politik, adalah taktik partai-partai politik untuk meraup lebih banyak suara," kata Keong.

Shah Hakim Zain, seorang pengusaha terkemuka Malaysia, menggemakan pandangan serupa. "'Gelombang hijau' ini adalah gimik politik. Ketika partai-partai politik berada dalam posisi lemah atau tidak yakin, mereka akan beralih ke agama," ujarnya.

Artikel ini pertama kali terbit dalam Bahasa Inggris
Diadaptasi oleh: Rizki Nugarha
Editor: Hendra Pasuhuk

Lihat juga Video 'Bagaimana Hukum Haji dari Hasil Undian Berhadiah?':

(ita/ita)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads