Sengketa Perbatasan Thailand-Kamboja Memanas, Warga Merasa Dirugikan

Sengketa Perbatasan Thailand-Kamboja Memanas, Warga Merasa Dirugikan

Deutsche Welle (DW) - detikNews
Kamis, 26 Jun 2025 16:44 WIB
Perbatasan Sa Kaeo sangat populer bagi para turis yang melewati jalur darat menuju Siem Reap dan Angkor Wat di Kamboja (Foto: Tommy Walker)
Bangkok -

Ketegangan yang telah berlangsung cukup lama antara Thailand dan Kamboja terkait perbatasan, kembali memuncak beberapa bulan terakhir, yang menewaskan seorang tentara Kamboja yang menjadi korban baku tembak.

Sejak itu, ketegangan meningkat dan kedua negara menempatkan pasukan dalam jumlah besar di berbagai pos pemeriksaan di area perbatasan sepanjang 800 kilometer.

Beberapa hari lalu, Thailand menutup perbatasan di Chong Sai Taku, Buriram, sementara Kamboja juga menutup dua pos pemeriksaan di provinsi Oddar Meanchey.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Thailand dan Kamboja memiliki 17 pos perlintasan perbatasan resmi, namun salah satu pos tersibuk adalah yang menghubungkan provinsi Sa Kaeo (Thailand) dengan Poipet (Kamboja).

Jalur ini sering kali digunakan warga dari kedua negara untuk bekerja, dan bagi warga Thailand untuk mengunjungi kasino yang ada di Kamboja. Tidak hanya itu, wisatawan internasional juga menggunakan jalur ini.

ADVERTISEMENT

Namun, setelah bentrokan di Chong Bok di wilayah timur dekat Laos, Thailand memutuskan untuk mengurangi jam operasional pos perbatasan Sa Kaeo sebanyak delapan jam. Kini, pos hanya buka pukul 08.00 hingga 16.00, padahal sebelumnya dibuka dari 06.00 hingga 22.00. Perubahan ini sangat mempengaruhi kehidupan sehari-hari penduduk dan pekerja di sekitar area tersebut.

Sengketa perbatasan merugikan bisnis lokal

Ball, warga Thailand yang memiliki toko ganja di kota perbatasan Aranyaprathet, mengatakan penjualannya turun hampir tiga perempat sejak perubahan perbatasan.

"Sebelum konflik, bisnis saya berkembang dengan baik, pendapatan cukup bagus. Namun sejak pekan lalu, langsung terdampak. Setelah pukul 16.00, suasana sangat sepi, padahal biasanya masih ramai. Lebih dari 70% usaha saya terpengaruh," ujarnya kepada DW.

Lim Num Hong, warga Thailand keturunan Tionghoa yang bekerja di pangkalan taksi dekat perbatasan, biasanya melayani penumpang ke Bangkok. Selama dua hari terakhir, ia tidak mendapat pesanan sama sekali karena sulitnya akses lintas batas. Bahkan, ia hanya mendapat satu pesanan selama total empat hari.

Seorang pria asal Sa Kaeo, Mon, kehilangan pekerjaannya di kasino Kamboja karena perubahan jam buka perbatasan.

"Saya bekerja sebagai layanan pelanggan di sebuah kasino di Kamboja selama satu tahun terakhir. Pekerjaan saya berakhir tiga atau empat hari lalu, sejak pengumuman perubahan jam operasional perbatasan. Sekarang saya sudah pulang dan tidak punya pekerjaan," ujarnya kepada DW.

Militer Thailand telah melarang warga Thailand menyeberang perbatasan untuk bekerja di bar dan kasino Poipet sejak 17 Juni.

Dampak ekonomi dari konflik Thailand-Kamboja

Kementerian Tenaga Kerja Thailand melaporkan, sekitar 500.000 pekerja migran asal Kamboja tercatat bekerja di Thailand.

Vatey Mony, warga Kamboja yang tinggal di Sa Kaeo, mengelola warung makan kecil di pasar Aranyaprathet yang melayani warga Thailand, Kamboja, dan turis. Ia mempertimbangkan alternatif untuk meninggalkan daerah perbatasan, karena pendapatannya terus menurun dan kekhawatiran akan konflik yang berkelanjutan.

"Perbatasan tutup lebih awal, pelanggan makin sepi, kami mengalami kerugian. Saya dan saudara perempuan saya mungkin harus kembali ke Kamboja karena takut perang di masa depan," ungkapnya kepada DW.

Perdagangan juga kian terdampak, dengan Kamboja melarang impor buah, sayuran, bensin, dan propana sejak Minggu lalu. Sementara, Thailand dilaporkan melarang sepeda motor asal Kamboja masuk ke seluruh pos perbatasan darat.

Tita Sanglee, peneliti asosiasi di ISEAS-Yusof Ishak Institute mengatakan, eskalasi yang berkelanjutan akan merugikan kedua negara secara ekonomi.

"Saya tidak melihat konflik Thailand-Kamboja akan meningkat menjadi perang bersenjata besar-besaran. Eskalasi nyata justru lebih mungkin terjadi di sektor ekonomi," ujarnya kepada DW.

"Kedua pihak kini mulai mengambil langkah-langkah untuk saling merugikan secara ekonomi, dan penutupan perbatasan menjadi faktor utama. Keduanya sama-sama punya banyak hal yang dipertaruhkan. Thailand sangat bergantung pada tenaga kerja asal Kamboja, dan juga mengekspor banyak barang ke sana. Padahal, ekspor Thailand seperti bahan bakar, mesin, dan minuman adalah barang penting dalam konsumsi sehari-hari," tambahnya.

Pada tahun 2024, nilai perdagangan bilateral antara Thailand dan Kamboja mencapai lebih dari 4 miliar dolar AS (sekitar Rp 64 triliun), menjadikan Thailand sebagai mitra dagang terbesar keempat bagi Kamboja.

Suthien Pewchan dari Sisaket, Thailand, dekat lokasi bentrokan Chong Bok, mengatakan tidak ada kekurangan barang di pasar.

"Tidak ada kekurangan barang. Tapi kami dilarang mengumpulkan makanan seperti jamur liar dari hutan. Saat ini, kami sudah siap sepenuhnya. Memang belum ada pertempuran lagi, tapi warga tetap waspada. Sudah ada rencana darurat kalau kejadian seperti tahun 2011 terulang lagi," ujarnya kepada DW.

Sengketa perbatasan yang berlarut-larut

Sengketa ini sudah berlangsung lama, dengan bentrokan besar pada 2008 dan 2011 terkait klaim wilayah di sekitar Candi Preah Vihear. Puluhan tentara tewas sebelum akhirnya disepakati gencatan senjata.

Pada 2015, Mahkamah Internasional (ICJ) memutuskan wilayah tersebut milik Kamboja. Kini Kamboja ingin ICJ turut campur lagi untuk menyelesaikan sengketa lahan Chong Bok dan wilayah lain, sementara Thailand lebih memilih penyelesaian secara bilateral.

"Kamboja ingin membawa konflik saat ini ke Mahkamah Internasional (ICJ) karena mereka pernah menang di sana sebelumnya," ujar Zachary Abuza, pakar Asia Tenggara dari Lowy Institute, kepada DW.

"Sementara Thailand ingin memanfaatkan kekuatan ekonominya, mereka benar-benar yakin memiliki pengaruh ekonomi yang besar," tambahnya.

Gejolak politik akibat sengketa perbatasan

Sengketa ini juga memicu krisis politik dalam negeri Thailand.

Rekaman pembicaraan antara Perdana Menteri Thailand Paetongtarn Shinawatra dan mantan PM Kamboja Hun Sen bocor, di mana Paetongtarn mengkritik seorang komandan militer terkait konflik perbatasan.

Akibatnya, Partai Bhumjaithai, partai terbesar kedua di koalisi pemerintahan, keluar dari koalisi pimpinan Paetongtarn. Hal ini menimbulkan ketidakpastian terhadap masa depan pemerintahan Perdana Menteri tersebut.

"Sengketa perbatasan Thailand-Kamboja telah berubah menjadi krisis politik besar di Thailand," kata Thitinan Pongsudhirak, profesor ilmu politik dari Universitas Chulalongkorn, kepada DW.

"Dengan posisi Perdana Menteri Paetongtarn yang makin goyah akibat isolasi politik dan ancaman runtuhnya pemerintahan, politik Thailand kini berada dalam kondisi kacau. Sementara itu, hubungan Thailand-Kamboja diperkirakan akan terus diwarnai ketegangan dan konfrontasi dalam waktu yang cukup lama," pungkas Thitinan.

Artikel ini pertama kali terbit dalam bahasa Inggris

Diadaptasi oleh Adelia Dinda Sani

Editor: Agus Setiawan

Lihat juga Video DPR Apresiasi Kebijakan Prabowo Soal Tambang Raja Ampat-Sengketa 4 Pulau

(nvc/nvc)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads