Menghitung Keuntungan China dari Serangan AS ke Iran

Deutsche Welle (DW) - detikNews
Rabu, 25 Jun 2025 14:41 WIB
Jakarta -

Perang Israel-Iran meningkat dengan cepat setelah Amerika Serikat membombardir situs nuklir Iran pada Minggu (22/06). Tindakan ini digambarkan Cina sebagai pukulan terhadap reputasi global dari AS.

Pada Selasa (24/06), hanya beberapa jam setelah Presiden AS Donald Trump mengumumkan dimulainya "gencatan senjata total dan menyeluruh" antara Israel dan Iran, Pasukan Pertahanan Israel (IDF) mengatakan bahwa misil telah diluncurkan dari Iran ke arah Israel.

Menteri Pertahanan Israel, Israel Katz, mengatakan bahwa pihaknya telah menginstruksikan IDF untuk "merespons dengan kekuatan" terhadap peluncuran misil tersebut.

Militer Israel menyatakan satu atau dua misil yang diluncurkan dari Iran ke wilayah utara Israel berhasil dicegat. Namun, angkatan bersenjata Iran membantah adanya peluncuran misil ke Israel dalam beberapa jam terakhir, menurut media lokal di Iran.

Rencana gencatan senjata Trump muncul setelah serangan AS terhadap situs pengayaan nuklir utama Iran. Sebagai balasan, Iran menargetkan pangkalan militer AS di Qatar, yang merupakan pusat regional utama bagi pasukan AS.

Cina belum memberikan komentar langsung terhadap perkembangan terakhir tersebut.

Pada Minggu (22/06), juru bicara Kementerian Luar Negeri Cina, Guo Jiakun, mengkritik serangan AS ke Iran sebagai pelanggaran serius terhadap Piagam PBB, perjanjian utama PBB yang pada dasarnya melarang penggunaan kekuatan antarnegara kecuali untuk membela diri atau dengan persetujuan Dewan Keamanan PBB.

Guo mengatakan bahwa Beijing "siap bekerja sama dengan komunitas internasional... untuk memulihkan perdamaian dan stabilitas di Timur Tengah," meski tanpa memberikan rincian detail.

Pernyataan ini mencerminkan kritik sebelumnya dari Duta Besar Cina untuk PBB, Fu Cong, yang mengatakan bahwa kredibilitas AS telah "rusak", baik sebagai negara maupun sebagai peserta dalam negosiasi internasional.

Apa yang dipertaruhkan Beijing dari konflik AS-Iran?

Seruan Cina untuk stabilitas di Timur Tengah muncul di tengah kekhawatiran ekonomi bahwa Iran dapat menutup Selat Hormuz. Karena hal itu akan mengganggu harga minyak dunia.

Selat Hormuz merupakan jalur sempit antara Oman dan Iran yang menghubungkan Teluk Persia dengan Teluk Oman dan Laut Arab. Jalur ini merupakan jalur penting untuk transportasi minyak dunia.

Washington sebelumnya telah mendesak Cina, yang merupakan mitra dagang terbesar dan pasar utama ekspor minyak Iran, untuk mencegah Teheran memblokir selat tersebut.

"Naiknya harga minyak dan gas tentu akan memberi tekanan pada ekonomi [Cina]. Ini akan memperburuk inflasi," kata Ja Ian Chong, pakar politik dari National University of Singapore.

"Beijing jelas memiliki alasan untuk memastikan eskalasi tidak lepas kendali. Namun, apakah mereka mampu sepenuhnya menahan Iran, itu cerita lain," tambahnya.

Cina adalah pendukung ekonomi utama Iran, terutama di tengah sanksi negara barat dan isolasi internasional yang semakin meningkat terhadap Teheran karena program nuklirnya dan catatan hak asasi manusia.

Iran juga adalah mitra penting dalam Belt and Road Initiative milik Cina, sebuah rencana infrastruktur besar-besaran yang bertujuan menghubungkan perdagangan dan pengaruh Cina di puluhan negara di dunia.

"Jika Iran menjadi lebih lemah, misalnya karena hampir masuk perang konvensional besar atau bahkan perang saudara akibat intervensi militer AS, itu akan membuat Iran jadi mitra yang jauh lebih tidak efektif untuk kepentingan ekspansi Cina di Timur Tengah," kata Wen-Ti Sung, peneliti non-residen di Global China Hub, Atlantic Council.

Kesempatan cina mendapat pengaruh diplomatik

Sung mengatakan kepada DW bahwa setelah serangan militer AS ke situs nuklir Iran, Cina kemungkinan akan mendapat keuntungan dalam bentuk citra diplomatik yang lebih baik.

"Selama potensi serangan militer lanjutan dari AS belum benar-benar disingkirkan, dampak diplomatiknya akan tetap ada," katanya.

Cina telah lama menggambarkan AS sebagai kekuatan yang menyebabkan ketidakstabilan, sementara Cina menampilkan diri sebagai negara yang bertanggung jawab dan mendukung perdamaian.

"[Cina] kini akan punya lebih banyak kesempatan untuk menyampaikan bahwa AS adalah aktor pengganggu dan sebagai potensi ancaman. Mereka sangat aktif mendorong narasi ini di negara-negara dunia selatan," kata Chong.

Pada 2023, Cina menjadi penengah kesepakatan bersejarah antara Arab Saudi dan Iran untuk memulihkan hubungan diplomatik setelah tujuh tahun putus hubungan. Beijing menggambarkan keberhasilan itu sebagai kemenangan diplomatik besar.

Namun dalam krisis saat ini, dukungan Cina terhadap Teheran sebagian besar masih bersifat retoris, tanpa indikasi bahwa Cina akan memainkan peran mediator seperti sebelumnya.

"Beijing memang berpengaruh, tetapi sebagaimana AS tidak bisa mengendalikan Israel, Beijing juga tidak bisa [menahan Iran]," kata Chong.

Jika fokus AS beralih dari Asia, Cina bisa diuntungkan

Sementara itu, jika AS mulai mengalihkan perhatian dan sumber dayanya dari kawasan Indo-Pasifik, terutama terkait kehadiran militer yang makin besar di Asia, maka tekanan internasional terhadap Cina bisa berkurang.

Awal bulan ini, kapal induk AS yang awalnya dijadwalkan untuk singgah di pelabuhan Vietnam, akhirnya diarahkan ke Timur Tengah karena alasan "kebutuhan operasional mendesak", menurut Kedutaan Besar AS di Hanoi.

"Kunjungan pelabuhan itu seharusnya menunjukkan komitmen AS terhadap keamanan dan stabilitas di Asia. Sekarang, hal itu beralih," kata Chong.

"Kalau perhatian AS terus-menerus tersedot ke Timur Tengah, Beijing mungkin akan mempertimbangkan ulang strateginya," ujar Chong, merujuk pada pendekatan Cina terhadap Taiwan, sebuah pulau yang mengatur dirinya sendiri namun diklaim oleh Cina sebagai wilayahnya. Beijing tidak menutup kemungkinan menggunakan kekuatan untuk mencapai "reunifikasi".

Menurut Chong, dengan AS yang kini terlibat semakin dalam di konflik Timur Tengah, sekutu-sekutunya di Asia seperti Jepang, Korea Selatan, Filipina, dan Australia "akan harus lebih aktif dan bekerja sama lebih erat satu sama lain."

Untuk saat ini, belum jelas apakah serangan AS ke Iran hanyalah insiden tunggal sebelum Washington kembali fokus ke Asia, atau justru merupakan tanda bahwa AS mulai memprioritaskan Timur Tengah.

Tulisan ini diadaptasi dari artikel berbahasa Inggris

Diadaptasi oleh Tezar Aditya

Editor: Rahka Susanto

width="1" height="1" />

Lihat Video 'Peristiwa Besar dalam Hubungan Iran-AS Sejak 1953 Hingga Kini':




(ita/ita)
Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

Foto

detikNetwork