Cina menguasai nyaris sepenuhnya pasar logam tanah jarang — mineral paling penting untuk industri elektronik, otomotif, dan sistem pertahanan — yang memberinya pengaruh besar atas Amerika Serikat dalam pembicaraan tarif baru-baru ini di London.
Mengendalikan sekitar 60% produksi logam tanah jarang global dan hampir 90% kapasitas pemurnian, Cina memperkuat dominasinya pada April dengan memberlakukan kontrol ekspor terhadap tujuh jenis logam tanah jarang dan elemen magnet permanen.
Pembatasan ini, sebagian sebagai respons atas tarif tinggi yang diberlakukan Presiden AS Donald Trump pada ekspor Cina, memperlihatkan kerentanan AS yang minim kapasitas pemurnian domestik.
"Seluruh ekonomi dunia bergantung pada elemen magnet dari Cina ini," ujar Jost Wübbeke, mitra pengelola di Sinolytics, lembaga riset di Berlin yang berspesialisasi pada Cina, kepada DW. "Jika ekspor itu dihentikan, dampaknya akan dirasakan di seluruh dunia."
Dampak dari gangguan rantai pasokan ini, telah menghantam berat industri Amerika. Misalnya, Ford mengumumkan pada 13 Juni, mereka harus mengurangi produksi SUV di Chicago karena kekurangan pasokan. Sementara itu, pemasok suku cadang otomotif seperti Aptiv dan BorgWarner sedang mengembangkan motor dengan kandungan logam tanah jarang yang minim, atau bahkan tanpa logam esensial ini, guna mengatasi keterbatasan pasokan.
Michael Dunne, konsultan otomotif yang fokus pada China, kepada The New York Times mengatakan, "pembatasan ekspor dari Cina, bisa membuat pabrik perakitan mobil Amerika berhenti beroperasi."
Persediaan AS bisa habis dalam hitungan bulan
Sebuah survei oleh Kamar Dagang Amerika di Cina mengungkapkan, 75% perusahaan AS memperkirakan stok logam tanah jarang mereka akan habis dalam tiga bulan. Para produsen di AS mendesak Washington untuk bernegosiasi mengakhiri pembatasan ini. Di London, Cina telah menyetujui percepatan persetujuan lisensi ekspor, meski kemacetan berat masih terjadi
Belum jelas apakah kesepakatan ini juga mencakup akses bagi pemasok peralatan militer AS, yang sangat bergantung pada mineral ini untuk pesawat tempur dan sistem rudal.
Strategi China menggunakan logam tanah jarang sebagai alat geopolitik, bukanlah suatu hal baru. Pada 2010, Beijing menghentikan ekspor ke Jepang selama dua bulan di tengah sengketa wilayah, memicu lonjakan harga serta menimbulkan risiko pada rantai pasokan.
Gabriel Wildau, direktur pelaksana perusahaan konsultasi CEO Teneo di New York memperingatkan, sistem perizinan ekspor Cina adalah kebijakan permanen, bukan hanya reaksi atas tarif Trump. Dalam catatan kepada kliennya pada awal Juni, ia menulis, "pemutusan pasokan akan terus menjadi ancaman yang selalu eksis," dan menandakan arah politik Cina untuk mempertahankan pengaruhnya atas Washington.
Industri Eropa juga terimbas pembatasan Cina
Amerika Serikat bukan satu-satunya yang menghadapi kelangkaan logam tanah jarang. Uni Eropa juga sangat tergantung pada pasokan dari Cina, untuk sekitar 98% elemen magnet logam tanah jarang yang diperlukan buat komponen otomotif, pesawat tempur, dan alat pencitraan medis.
Asosiasi Pemasok Otomotif Eropa awal bulan ini memperingatkan, sektor tersebut "sudah mengalami gangguan signifikan" akibat pembatasan ekspor Cina, bahkan menyebabkan "penutupan beberapa lini produksi dan pabrik di seluruh Eropa, dengan dampak lebih lanjut yang diperkirakan terjadi dalam beberapa minggu ke depan saat persediaan menipis."
Alberto Prina Cerai, peneliti di Italian Institute for International Political Studies (ISPI), mengatakan kepada DW bahwa Brussel perlu segera "membeli waktu."
"Secara skala, kita [negara Barat] sulit mengejar Cina," katanya. "Mereka memiliki rantai pasokan terpadu dari tambang sampai magnet yang sangat sulit ditiru." Namun, meski pemisahan total dari Cina "tidak bisa terbayangkan" dalam waktu dekat, Uni Eropa harus "mengelola ketergantungan ini dengan strategi industri yang jelas."
Komisi Eropa berencana memproduksi 7.000 ton elemen magnet dengan basis industri di Uni Eropa pada 2030, yang diregulasi melalui Undang-Undang Bahan Baku Kritis, dengan beberapa proyek penambangan, pemurnian, dan daur ulang yang sedang berjalan. Sebuah pabrik pengolahan logam tanah jarang besar dijadwalkan mulai beroperasi di Estonia akhir tahun ini, dan fasilitas besar lain di barat daya Prancis akan beroperasi pada 2026.
Setelah bertemu dengan mitranya dari Cina awal bulan ini, Komisaris Perdagangan UE Maros Sefcovic menyebut, pembatasan ekspor oleh Cina "sangat mengganggu" sektor otomotif dan industri Eropa. Cina sempat menawarkan "jalur hijau" untuk mempercepat persetujuan lisensi bagi perusahaan UE, namun para ahli memperingatkan, proses itu masih bisa memakan waktu hingga 45 hari.
India pangkas ekspor untuk memperkuat pasokan domestik
India meski memiliki cadangan logam tanah jarang terbesar kelima di dunia, yakni sekitar 6,9 juta metrik ton, kontribusinya hanya kurang dari 1% pasokan global. Negara Asia Selatan ini juga kekurangan kapasitas pemurnian, untuk mengolah logam tersebut menjadi produk teknologi tinggi. India pun masih bergantung pada ekspor Cina, yang juga sempat mengalami pembatasan.
Walaupun New Delhi mempercepat upaya diversifikasi pasokan melalui kesepakatan dengan AS, Australia, dan negara-negara Asia Tengah, kemajuannya masih lambat.
Kantor Berita Reuters baru-baru ini melaporkan, pemerintah India memerintahkan perusahaan tambang negara, IREL, untuk menghentikan ekspor mineral yang diproduksi domestik, termasuk ke Jepang, guna menjaga pasokan bagi produsen di dalam negeri. Pada 2024, IREL mengirimkan sepertiga dari 2.900 ton logam tanah jarang yang ditambang di India ke Jepang, melalui perusahaan pemurnian Jepang.
Pemimpin G7 berjanji akan menangani pembatasan ekspor Cina
Dengan dominasi Cina atas logam tanah jarang yang sulit disaingi dalam waktu dekat, para pemimpin G7 yang bertemu di Kanada pada 15 Juni sepakat, untuk menyusun strategi bersama demi mengantisipasi kelangkaan dan mengatasi gangguan pasar yang disengaja, seperti yang dilakukan Cina. Mereka juga berkomitmen untuk mendiversifikasi produksi dan rantai pasokan global.
"Menyadari ancaman terhadap ekonomi kita, serta berbagai risiko lain terhadap ketahanan rantai pasokan mineral penting, kami akan bekerja sama dengan mitra di luar G7 untuk segera melindungi keamanan ekonomi dan nasional kami," tulis kelompok negara maju itu dalam dokumen berjudul G7 Critical Minerals Action Plan.
Alberto Prina Cerai dari ISPI mengatakan kepada DW, akses terhadap logam tanah jarang akan semakin krusial bagi negara-negara Barat, seiring munculnya teknologi canggih baru, dan menyoroti bagaimana "teknologi robotika dan humanoid" bisa menjadi pasar penting" dalam jangka menengah.
Beberapa pesaing tingkatkan produksi logam tanah jarang
Cina memiliki cadangan logam tanah jarang sebesar 44 juta ton, disusul di peringkat kedua Brasil, India, dan Australia memiliki cadangan terbesar berikutnya secara gabungan sekitar 31,3 juta ton, menurut US Geological Survey. Baru-baru ini ditemukan cebakan baru logam tanah jarang sekitar 20 juta ton di Kazakhstan.
AS dan Australia adalah yang paling maju dalam menggenjot produksi penambangan, dan pemurnian logam tanah jarang mereka sendiri, sementara rencana negara lain masih dalam tahap awal hingga menengah, yang membutuhkan waktu 5 hingga 10 tahun, dengan mempertimbangkan aspek lingkungan, serta investasi bernilai miliaran dolar.
Sumber potensial lain logam tanah jarang di masa depan adalah Greenland, meski kondisi cuacanya cukup keras. AS dan Uni Eropa sudah menandatangani perjanjian kerja sama, dan pada 2023, Proyek Tanbreez di Greenland selatan dinobatkan sebagai proyek logam tanah jarang terbaik oleh Mining Intelligence, dengan perkiraan cadangan mineral mencapai 28,2 juta ton.
Reuters awal bulan ini melaporkan, US Export-Import Bank dipersiapkan untuk menyetujui pinjaman hingga $120 juta (sekitar Rp1,9 triliun) kepada perusahaan pengelola Tanbreez, yang menjadi investasi luar negeri pertama pemerintahan Trump dalam proyek pertambangan. Trump beberapa kali mengancam ingin mengakuisisi Greenland untuk tujuan strategis AS, namun negara pulau yang merupakan wilayah Denmark ini menolak tawaran tersebut.
Sementara itu, Uni Eropa telah mengidentifikasi 25 dari 34 mineral dalam daftar resmi bahan baku kritisnya ada di Greenland, termasuk logam tanah jarang, yang menandakan peran Greenland yang makin penting dalam ekonomi global.
Namun, sampai pasokan alternatif logam tanah jarang dapat ditingkatkan secara signifikan, Cina akan terus menggunakan sumber daya penting ini sebagai senjata geopolitik yang kuat, untuk mengendalikan industri dan negara-negara di seluruh dunia.
Jost Wübbeke dari Sinolytics meragukan, apakah negara lain mampu menyaingi dominasi Cina atas logam tanah jarang karena keunggulan biaya besar yang dimiliki China.
"Jika Cina mencabut kontrol ekspor, harga akan turun dan situasi pasokan akan membaik. Tidak akan ada lagi pembicaraan soal ketergantungan berlebihan pada Cina, karena saat itu yang dibicarakan adalah harga," kata Wübbeke kepada DW. "Tambang dan pabrik pemurnian non-Cina harus bersaing dengan harga tersebut, dan biasanya mereka tidak mampu," pungkasnya.
Artikel ini pertama kali terbit dalam bahasa Inggris
Diadaptasi oleh Adelia Dinda Sani
Editor: Agus Setiawan
Simak Video 'China Kecam AS Serang Situs Nuklir Iran: Pelanggaran Serius!':
(ita/ita)