Ambisi Irak, Mampukah Beralih dari Minyak ke Pariwisata?

Ambisi Irak, Mampukah Beralih dari Minyak ke Pariwisata?

Deutsche Welle (DW) - detikNews
Jumat, 21 Mar 2025 16:10 WIB
Jakarta -

Lapangan Saray di pusat Baghdad, tempat Perdana Menteri Irak Mohammed Shia al-Sudani akan berpidato tentang pariwisata, dikelilingi oleh bangunan bersejarah yang menjadi daya tarik utama bagi wisatawan. Di sekitar area ini terdapat dua masjid kuno, salah satu universitas tertua di dunia Arab, sebuah kastil berusia 800 tahun, gereja tertua di kota ini, serta bekas pusat pemerintahan Baghdad pada era Kekaisaran Ottoman.

Namun, kawasan ini juga menyimpan jejak sejarah kelam Irak yang selama bertahun-tahun membuat wisatawan enggan berkunjung. Di dekatnya, Jalan Muttannabi menjadi saksi serangan bom mobil pada 2007 yang menewaskan 30 orang dan menghancurkan sebagian besar kawasan yang terkenal dengan penjual bukunya. Pada 2019, Jalan Rasheed yang berada di sekitar lokasi ini menjadi medan bentrokan antara demonstran dan pasukan keamanan selama protes anti-pemerintah.

Dalam lima tahun terakhir, Irak mengalami periode stabilitas dan keamanan yang lebih baik. Itulah sebabnya, pada malam di akhir Februari, para pejabat Irak merayakan Baghdad yang ditetapkan sebagai Ibu Kota Pariwisata Arab 2025, gelar yang diberikan setiap tahun oleh Organisasi Pariwisata Arab, bagian dari Liga Arab.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dalam pidatonya, Perdana Menteri al-Sudani menyampaikan, "Berkat pengorbanan rakyatnya, Irak telah merebut kembali posisinya sebagai negara berpengaruh yang menarik wisatawan dari seluruh dunia untuk menikmati peradaban yang kaya." Ia kemudian menerima kunci simbolis dari para pejabat Oman, pemegang gelar Ibu Kota Pariwisata Arab 2024.

Mengurangi ketergantungan pada minyak

Seperti banyak negara penghasil minyak lainnya, Irak ingin mendiversifikasi sumber pendapatan nasionalnya, terutama mengingat peralihan dunia dari bahan bakar fosil. Saat ini, sektor pariwisata, yang mayoritas berbasis wisata religi, menyumbang sekitar 3% dari Produk Domestik Bruto (PDB) Irak, dan pemerintah ingin meningkatkan angka tersebut menjadi 10% dengan memperluas fokus pada daya tarik wisata lainnya.

ADVERTISEMENT

Ambisi ini tidak mustahil. Di negara-negara seperti Mesir, Tunisia, Maroko, dan Uni Emirat Arab, sektor pariwisata menyumbang sekitar 7% hingga 9% dari PDB nasional.

Setiap tahun, Irak menerima sekitar 6 hingga 10 juta wisatawan religi, terutama dari Iran dan Turki, karena menjadi rumah bagi beberapa situs suci Islam paling penting di dunia. Namun, sejak pemerintah Irak melonggarkan aturan visa pada tahun 2021 dengan menawarkan visa on arrival bagi warga dari lebih dari 30 negara, jumlah wisatawan non-religius pun meningkat.

Meskipun data pasti sulit diperoleh karena perbedaan metode pencatatan pengunjung, otoritas pariwisata Irak melaporkan bahwa pada tahun lalu, sekitar 400.000 wisatawan internasional datang untuk tujuan wisata budaya dan rekreasi.

Rencana ambisius

"Ini 100% mungkin," kata Ali al-Makhzomy, pendiri dan ketua agensi tur lokal Bil Weekend, yang melayani wisatawan domestik maupun internasional. "Bahkan bisa menyumbang 30% dari anggaran Irak," tambahnya, "tentu dengan beberapa syarat."

Irak memiliki banyak faktor pendukung untuk mengembangkan sektor pariwisata, termasuk enam situs Warisan Dunia UNESCO, keramahan masyarakatnya yang luar biasa terhadap tamu, serta kekayaan alam dan arkeologi yang berusia ribuan tahun.

Meskipun Irak masih sering dianggap sebagai destinasi yang berbahaya, kelompok wisata dari Barat dan para influencer perjalanan mulai menarik perhatian dunia terhadap potensi pariwisata negara ini. Namun, dampak ekonomi terbesar dalam waktu dekat kemungkinan berasal dari wisatawan Arab.

Sejak kunjungan resmi Paus Fransiskus ke Irak pada 2021 mengubah persepsi global tentang negara ini, kunjungan wisatawan dari negara-negara Arab semakin meningkat, terutama setelah Irak menjadi tuan rumah turnamen sepak bola Piala Teluk 2023 di Basra.

"Piala Teluk di Basra adalah momen ketika Irak benar-benar mulai membuka pintunya bagi wisatawan Arab," jelas Diyar Talal, salah satu pendiri komunitas wisata Iraqi Traveler's Cafe (ITC) yang memiliki sekitar 100.000 anggota di media sosial. "Kami mulai melihat orang-orang dari negara Teluk seperti Arab Saudi, Bahrain, dan Kuwait datang ke Irak untuk tujuan wisata, bukan hanya ziarah."

Booming pariwisata domestik

Al-Makhzomy awalnya mendirikan agensinya pada 2016 untuk melayani pasar domestik. Ia melihat bahwa banyak warga Irak yang mulai tertarik dengan sejarah negaranya sendiri, tetapi tidak tahu bagaimana cara menjelajahinya.

Kini, ia memperkirakan sekitar 20.000 warga Irak setiap bulan mengunjungi situs-situs bersejarah seperti reruntuhan kuno Babilonia.

"Ada begitu banyak peluang di sini," katanya. "Mulai dari pengalaman kuliner yang terkait dengan situs warisan, hingga peluang kerja bagi pengemudi dan pemandu wisata. Bahkan jika Anda hanya membuat suvenir di sekitar lokasi wisata, Anda bisa menjalankan bisnis yang sukses."

Namun, pasar lokal masih memiliki banyak kekurangan. Sementara pedagang di Jalan Muttannabi menawarkan berbagai suvenir seperti magnet kulkas dan bendera Irak, di beberapa tempat wisata utama hampir tidak ada yang bisa dibeli.

Misalnya, di Museum Nasional Irak, pengunjung dapat melihat peninggalan luar biasa seperti tablet tulisan tertua di dunia yang berusia 3.600 tahun. Namun, satu-satunya cenderamata yang tersedia di sana hanyalah kartu pos berdebu di toko suvenir yang terbengkalai.

Seorang warga lokal yang bekerja di sektor pariwisata menjelaskan secara off the record bahwa perbedaan besar antara fasilitas yang dikelola pemerintah dan bisnis swasta adalah motivasi kerja. "Di museum yang dikelola pemerintah, orang tidak terlalu peduli. Mereka tetap digaji, apa pun yang terjadi," ujarnya. "Sementara di sektor swasta, mereka harus benar-benar berusaha untuk menarik pengunjung."

Dibutuhkan visi jangka panjang

Meskipun ada peluang besar, banyak tantangan yang masih menghadang. Beberapa negara Barat masih melarang warganya bepergian ke Irak. Sementara itu, meskipun warga negara Teluk bisa mendapatkan visa bebas saat menghadiri pertandingan sepak bola di Basra, wisatawan dari negara Arab lain sering kali mengalami kesulitan mendapatkan visa ke Irak dibandingkan wisatawan Eropa.

Faktor lain seperti konflik regional, seperti perang di Gaza, serta dampak perubahan iklim yang membuat musim panas di Irak semakin ekstrem, juga menjadi tantangan besar bagi industri pariwisata.

"Saya rasa negara ini butuh visi yang jelas untuk pariwisata," ujar Talal dari ITC. "Lihat Arab Saudi, mereka punya Vision 2030 yang mencakup pengembangan sektor pariwisata. Kita tidak punya hal seperti itu."

Senada dengan itu, Al-Makhzomy dari Bil Weekend menyimpulkan, "Kita butuh rencana nyata dari pemerintah dan investasi besar untuk mengembangkan industri ini. Pariwisata bukan hanya soal pemandu wisata, tapi juga mencakup perhotelan, restoran, dan infrastruktur pendukung lainnya. Ini adalah industri yang kompleks, dan kita harus mampu menanganinya secara menyeluruh."

Artikel ini diadaptasi dari DW berbahasa Inggris

Simak Video 'Momen Warga Irak Bersukacita Sambut Serangan Iran ke Israel':

(ita/ita)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads