Sejak pukul 09.00 pagi, sekitar 100 orangtua dan anak-anak keluarga KJRI New York, Forum Perbankan Indonesia dan anggota keluarga besar Perwakilan Tetap RI memadati ruang Pancasila di kantor Konjen yang beralamat di 5 East 68th Street New York.
Kesempatan langka "Berbagi Cerita" ini mereka gunakan untuk bermain dan berdialog dengan Kak Seto, pejabat Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak dari tahun 1998 ini.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Metode Home-Schooling dirancang agar siswa dapat belajar sendiri melalui tutorial jarak jauh, dengan mengacu kurikulum Nasional, dan sudah diakomodasi dengan UU Pendidikan Nasional. "Mereka akan mengikuti ujian persamaan, sehingga tidak banyak mengalami kesulitan di bidang akademik saat harus kembali ke Indonesia," tuturnya. Saat ini Kak Seto menjalankan program Home-Schooling untuk 1 siswa SMP di Jepang dan 1 siswa SMA di Australia. Program ini baru berjalan kurang lebih setaun.
Sudah sejak 25 tahun yang lalu, "Sindrom Anak Deplu" selalu menghantui orang tua dan anak yang berpindah-pindah negara karena tugas. Perbedaan kurikulum, tentu saja menjadi faktor pembeda yang sangat mencolok. Tidak jarang sang anak harus 'naik kelas' atau 'turun kelas', disesuaikan dengan lokasi penempatan mereka.
Sedikit yang memiliki keberuntungan seperti yang dialami Wina (19). Putri pertama dari pasangan Wiwit dan Anita Wirsatyo ini selalu mengikuti kepindahan kedua orangtuanya. Dari Kelompok Bermain 'Mutiara' asuhan Kak Seto di Jakarta, Wina hijrah ke Finlandia selama 5 tahun, melanglang ke Wellington (New Zealand) di usia SMP dan kembali ke Jakarta untuk berseragam putih abu-abu di SMA Triguna (Kebayoran Baru), sebelum terdampar di New York.
"Aku senang dan bersyukur jadi anak diplomat. Selain bisa dapat pengalaman tinggal dan sekolah di luar negeri, juga aku jadi banyak tahu tentang budaya dan pergaulan di negara lain. Itu membuatku pikiranku menjadi lebih terbuka untuk banyak hal," ungkapnya pada Endang Isnaini Saptorini, wartawan detikcom di Washington DC.
Meskipun dia juga mengaku awalnya kesulitan untuk beradaptasi dengan pelajaran di Indonesia yang tidak didapat sebelumnya seperti pelajaran agama. "Pandangan teman-teman di Indonesia mengenai kami (anak-anak yang pernah sekolah di luar negeri) juga terkadang membuat kami sedih. Sering dicap sombong...sok pinter bahasa Inggris...yang seperti itulah kurang lebihnya," ungkapnya.
"Masalah seragam awalnya juga agak canggung. Karena sebelumnya kami biasa memakai baju bebas. Namun lama-lama terbiasa juga," imbuh gadis ini.
Sementara Anita (istri Wiwit Wirsatyo, Consul Economic Affair, KJRI New York), ketika dihubungi secara terpisah, mengaku gembira sudah bisa berdialog langsung dengan Kak Seto. "Kak Seto sudah memberikan tidak saja solusi 'Home-schooling', tetapi juga memberikan pencerahan mengenai komunikasi ibu-anak. Karena setiap anak berbeda, Kak Seto mengajak kita untuk berperan dalam membesarkan anak yang mau berkomunikasi dengan kita (orang tua mereka)", tutur Anita, ibu dari Wina (19) dan Misa (14) ini.
(eis/nrl)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini