"Secara pribadi, saya merasa terhina, karena penduduk disuruh bungkuk-bungkuk saat melintasi markas Jepang di dekat alun-alun (Blitar)," kata Andaryoko kepada detikcom dan The Jakarta Post di rumahnya, Selasa (12/8/2008).
Oleh tentara Jepang, penduduk yang tidak mau bungkuk bakal dipukul kepalanya. Perasaan terhina itu juga dirasakan pejuang PETA lain. Akhirnya, mereka melakukan pemberontakan di Blitar 14 Februari 1945.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kami kalah karena Jepang mendatangkan bala bantuan dari Kediri, Malang, dan daerah sekitar. Selain faktor jumlah orang, Jepang menang karena punya lebih banyak amunisi," jelasnya.
Andaryoko dan beberapa pejuang PETA lain lari ke hutan, mulai dari Blitar Selatan, Hutan Purwo, dan Ketonggo, Ngawi. Lantas ke mana Andaryoko setelah itu? (try/asy)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini