Artalyta hanyalah orang sipil biasa. Namun orang dekat Sjamsul Nursalim ini cukup mampu membayar seorang tentara untuk menjadi ajudannya. Ajudan itu adalah Serka Agus Heriyanto, anggota intelijen Kodam Jaya.
Jika Agus tidak dipanggil jaksa KPK untuk bersaksi di Pengadilan Negeri Tipikor, tentu identitas ajudan Artalyta ini tidak akan terkuak.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Boedyharto tewas bersama pengawal pribadinya, Serka Edy Siyep. Edy tercatat sebagai anggota Sat 81 Gultor Kopassus TNI AD, satuan elit di lingkungan militer.
Otak pembunuhan itu adalah Gunawan Santoso alias A Cin, bekas menantu Boedyharto yang sakit hati pada konglomerat itu. Gunawan menghabisi eks mertuanya dengan menyewa 'ajudan swasta' yaitu empat personel Brigade Marinir/BS Cilandak.
Hukuman yang dijatuhkan majelis hakim pada dua dia antara empat eksekutor yaitu Letnan Dua (Marinir) Sam Ahmad Sanusi dan Kopral Dua (Marinir) Suud Rusli adalah hukuman mati dan dipecat dari dinas militer. Sam sendiri tewas didor aparat karena berusaha melawan saat hendak ditangkap.
Pengamat intelijen, Wawan Purwanto, menilai, longgarnya waktu kerja di kantor dijadikan peluang bagi sejumlah aparat TNI untuk mencari kerja sampingan sebagai pengawal pribadi atau ajudan. Padahal tindakan ini jelas-jelas melangggar aturan.
"Secara resmi tidak diperbolehkan. Tetapi banyak yang melakukan secara diam-diam dan personal. Karena proses pertemanan, kedekatan, dan minta tolong," katanya.
Kadispen TNI AD Brigjen Ricardo Siagian mengakui, praktek personel TNI merangkap 'ajudan swasta' biasa terjadi pada zaman Orba. Tapi kini tidak lagi. "Wong itu bukan tentara bayaran kok," ujar Ricardo menjelaskan alasan pelarangan itu.
Sementara, Yusron Ihza Mahendra mendesak agar praktek nyambi itu tidak diteruskan lagi. "TNI harus dibenahi. Panglima TNI harus menertibkan hal-hal semacam itu, tidak cuma terhadap kasus Artalyta ini saja. Tapi semua anggota yang nyambi harus ditertibkan," tegas politisi PBB ini. (nrl/aba)