Vivian mengaku saat kerusuhan Mei, ia diperkosa lima pria di Apartemen Mitra Bahari, Jakarta Utara. Saat itu, apartemennya tiba-tiba diserbu orang-orang tidak dikenal. Mereka dengan beringas lalu memperkosa Vivian, saudara, tante dan tetangganya. Yang mengagetkan lagi, kata Vivian, setiap kali akan memperkosa para pria berteriak "Allahu akbar!".
Tidak lama berselang dari munculnya kisah Vivian muncul pula foto-foto yang luar biasa sadis dan mencekam yang diklaim sebagai foto korban kerusuhan Mei di situs Indo Chaos.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Harian Asia Wall Street Journal bahkan membongkar bahwa foto yang dipajang di situs tersebut merupakan hasil manipulasi gambar pemerkosaan di tempat lain. Pengelola situs Web Indo Chaos, Soekarno Chenata kepada detikcom waktu itu, juga mengakui foto-foto yang dipasang di situsnya, sama sekali tidak otentik. Foto itu ternyata adalah hasil montase dan diambil dari situs Web Gore Gallery yang memang brutal.
Terbongkarnya kasus Vivian dan foto-foto manipulasi itu akhirnya membuat banyak kalayak meragukan kebenaran perkosaan Mei. Terlebih lagi hingga kini, tidak satu pun korban yang mau bersaksi.
Keraguan semakin menjadi ketika Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) yang bertugas menyelidiki kasus tersebut memberikan laporan yang berubah-ubah. Misalnya dari segi jumlah korban. Sebelumnya, tim ini menyebut jumlah korban sebanyak 168, kemudian jumlah turun menjadi 92, 85, dan akhirnya jadi 58.
Soal perubahan angka tersebut, Sekretaris Tim Relawan, Romo Sandyawan Sumardi waktu itu sempat membantahnya. Menurutnya, perbedaan jumlah korban bukan lantaran salah hitung, tapi lebih karena perbedaan definisi.
Ketua Solidaritas Nusa Bangsa (SNB) yang menginvestigasi kasus perkosaan Mei Ester Indahyani Jusuf mengatakan, kasus perkosaan Mei 1998 sengaja dikerdilkan sehingga lama-lama kasusnya menjadi lenyap dan hanya dianggap omong kosong belaka.
Ester berpendapat, cerita-cerita yang muncul di internet, seperti pengakuan Vivian, adalah upaya untuk menguburkan kasus Mei 1998. "Isu tersebut merupakan pembusukan. Itu adalah skenario untuk mengaburkan peristiwa yang sebenarnya," ujarnya.
Ester mengaku isu itu juga sempat dialaminya saat ia menjadi relawan di LBH Jakarta pada 1998. Waktu itu ia yang bertugas sebagai tim advokasi kedatangan seorang pria paruh baya di kantornya. Pria ber-KTB Bogor itu bercerita kalau anaknya menjadi korban perkosaan Mei 1998. Tapi karena anaknya itu masih trauma ia tidak bisa membawanya ke LBH untuk mengadukan nasibnya.
Pria tersebut menjanjikan akan mempertemukan Ester dengan anaknya di suatu tempat. Awalnya Ester merasa berat untuk menindaklanjuti laporan tersebut. Sebab kondisinya waktu itu sedang hamil tua. Tapi karena sayang jika informasi korban perkosaan ditampik begitu saja, mau tidak mau Ester menyanggupi untuk bertemu dengan perempuan yang dikabarkan sebagai korban. Bahkan Ester sempat mengeluarkan uang untuk membiayai perobatan yang diminta pria tersebut.
Beberapa hari kemudian kesepakatan untuk bertemu korban dibuat. Stasiun kereta api Gambir dijadikan lokasi pertemuan. Untuk memudahkan pertemuan, pria tersebut mengusulkan agar Ester dan korban memakai tanda-tanda tertentu agar mudah dikenali. Permintaan itu pun dituruti.
Ester kemudian memakai pin relawan di kerah kemejanya. Pin yang sama juga diberikan kepada pria tersebut untuk dipakaikan oleh anak dari pria tua tersebut.
Namun berjam-jam Ester menunggu di lokasi yang ditentukan, perempuan yang disebutkan sebagai korban tidak kelihatan batang hidungnya. Begitu pun dengan pria yang melaporkan. Dari pengalaman itu Ester berpendapat kalau ada pihak-pihak yang ingin melakukan pengalihan kasus tersebut seolah menjadi rumor semata. "EO (even organizer) para pelaku kerusuhan sangat canggih. Mereka sangat lihai membuat pemetaan isu," terang Ester.
Diakui Ester, untuk mencari atau menggali informasi dari korban perkosaan Mei bukan perkara gampang. Sebab sejumlah pihak ada yang berupaya menghalangi korban untuk memberikan kesaksian, selain ada juga korban yang masih trauma untuk bertemu orang asing. Praktis, dalam investigasi yang dilakukan Ester dan timnya selama setahun lebih hanya tiga korban yang berhasil ditemui dan dimintai keterangan. Satu korban di antaranya, kebetulan adik kandung teman Ester.
Pola lain yang dilakukan otak pelaku kerusuhan Mei, menurut Ester, adalah dengan cara mengerdilkan kasus kerusuhan Mei menjadi sempit.
Sehingga kasus kerusuhan Mei yang menewaskan 1.059 orang, membuat ribuan bangunan rusak, dan ratusan perempuan menjadi korban perkosaan, ruang kasusnya menjadi semakin sempit dan menghilang. Misalnya dengan dimunculkannya isu kalau yang menjadi korban perkosaan adalah warga etnis Tionghoa saja. "Padahal dari investigasi yang dilakukan SNB maupun TGPF kebanyakan korban adalah pribumi," ungkap Ester.
Parahnya lagi, setelah spektrum kasus Mei semakin mengecil kemudian muncul pengakuan-pengakuan fiktif dari orang-orang yang mengaku korban. Akibatnya, kasus perkosaan itu dianggap kabar angin belaka.
Akhir Mei lalu, Menteri Permberdayaan Perempuan Meutia Hatta mendatangi Kejagung. Dia meminta kasus perkosaan yang sudah 10 tahun diendapkan itu segera ditangani. "Ini merupakan penegasan bahwa kekerasan seksual pada Mei 2008 ada. Hal ini seharusnya ditangani serius oleh pemerintah," tegas Meutia.
Sineas muda Indonesia, Viva Westi, yang membuat film 'May', awalnya juga menganggap kasus perkosaan Mei hanya kabar belaka. Namun Viva Westi kemudian yakin perkosaan itu benar-benar terjadi. Saat akan menggarap film 'May', Viva Westi melakukan beberapa observasi. Nah ketika meninjau lokasi syuting di Malaysia, salah seorang kenalannya yang tinggal di negeri jiran itu sempat mengajaknya untuk berkunjung ke salah satu rumah sakit di sana.
Menurut kenalannya tersebut, beberapa korban perkosaan Mei banyak yang dirawat dan direhabilitasi di rumah sakit tersebut. Tapi Westi enggan mengikuti ajakan tersebut. Pasalnya, peristiwa Mei tersebut hanya dijadikan latar belakang semata dari film May.
"Dulu yang saya tahu kasus perkosaan Mei hanya sebatas kabar. Tapi sekarang saya semakin yakin kalau kasus itu benar-benar ada," jelas Westi.Keterangan foto: Menteri Pemberdayaan Perempuan Meutia Hatta meminta Kejagung serius menyelidiki kasus perkosaan Mei yang sudah mengendap 10 tahun. (ddg/iy)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini