"Ada yang masih menjadi tanda tanya dan bagian gelap. Secara standar yang kami tahu untuk melepas energi H dari air laut membutuhkan energi yang besar. Ini tidak seimbang antara output dan input, tidak ekonomis dan tidak kompetitif," kata Kepala Balai Besar Teknologi Energi (B2TE) Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) MAM Oktaufik pada detikcom, Senin (26/5/2008).
Dari hal itu, lanjut pria yang akrab disapa Oki ini, timbul keraguan karena untuk mencoba proses seperti ini membutuhkan biaya besar. "Ini terlalu mahal," tambahnya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kami menghargai hak cipta mereka, tapi di dalam dunia pengetahuan perlu justifikasi, sehingga orang mendukung dan memperoleh keyakinan produk tersebut aman," tambahnya.
Oki menjelaskan tim blue energy mengklaim menemukan sumber energi yang lebih murah, tapi sumbernya apa, pihak penemu tidak mau menjelaskan secara rinci.
"Mereka hanya menjawab menggunakan teknologi mata hati. Saya tidak mengerti maksudnya apa. Tapi ini untuk bangsa, ya kita dukung saja. Kita bantu dengan doa semoga berhasil," terangnya.
Sebagai gambaran, di Jepang saja untuk memisahkan unsur H dari air dibutuhkan areal yang luas dan sel surya yang mahal. "Di dunia ini penelitian model ini memang banyak, namun masih dalam skala kecil. Kalau praktek membuat energi hemat di internet banyak, seperti zero energy, water energy, mereka yang menemukan itu biasanya seniman-seniman, tapi ketika diproduksi massal harus di-support dengan dana besar," urainya.
Menurut Oki, proses penguraian hidrogen di dunia ini sampai sekarang tidak layak secara ekonomi.
Oki juga mendengar, pecahan tim blue energy yang berada di Yogya juga tengah mengembangkan bahan bakar alternatif. "Mereka pakai bahan nuklir. Tapi entah benar atau hanya bluffing saja," ujarnya. (ndr/nrl)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini