Dr Honden & Para Kere

Kolma

Dr Honden & Para Kere

- detikNews
Selasa, 06 Mei 2008 15:04 WIB
Den Haag - Verboden voor Honden en Inlanders, Dilarang (masuk) untuk Anjing dan Pribumi. Sekolah pun dilarang, kecuali kroni pemerintah dan bangsawan. Lha, anno 2008 politik itu malah ditiru dan diteruskan.

Zaman kolonial Belanda plang Verboden voor Honden en Inlanders itu ada dimana-mana. Dari lembaga milik pemerintah, rumah orang Belanda, hingga di kolam renang umum. Perhatikan, honden (anjing-anjing) dalam kalimat itu didahulukan dimuka inlanders (pribumi-pribumi). Itu disengaja untuk menunjukkan bahwa anjing-anjing masih lebih mulia daripada pribumi-pribumi. Baru tahu atau baru sadar ya?

Tahun berbilang abad, penindasan derajat manusia, perampokan nyawa dan kekayaan itu terus berlangsung. Mau sekolah tidak bisa, kecuali setelah Politik Etis (1901). Kebijakan pemerintah kolonial juga hanya menguntungkan para pengusaha kroni, kaum Eropa dan Asia Timur. Hasilnya manusia-manusia Indonesia yang miskin-bodoh, seperti banyak kita lihat keturunannya sampai kini.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Perihnya, kebijakan pemerintah saat ini malah meniru dan melanggengkan politik kolonial pra Politik Etis dari cikal-bakal VOC itu. Bedanya, penguasa sekarang tak terang-terangan memasang plang Verboden voor Honden en Inlanders, tapi esensinya sama saja. Plang itu kini tertutupi oleh the invisible hand. Pendidikan diliberalkan dan hanya bisa dinikmati kelas kaya. Anak bangsa yang miskin-kere hanya mampu sampai SD. Para pembuat kebijakan ini jauh lebih kejam dari kolonial Belanda pra Politik Etis, a-sejarah dan antikemerdekaan.

Mau membantah bagaimana, memang itulah faktanya. Oleh the invisible hand, kelompok honden itu didahulukan dan lebih dimuliakan dari rakyat manusia Indonesia kebanyakan. Akibatnya, yang muncul ke atas dan menentukan negara adalah Dr Honden-Dr Honden, sarjana honden. Mereka bertabiat honden, berebut daging untuk diri sendiri. Tak ada solidaritas atau sambung-rasa dengan manusia Indonesia kebanyakan. Kalau diteriaki ramai-ramai, barulah sisa tulang diberikan. (Kolma edisi ini saya dedikasikan untuk para guru yang masih merana dan anak-anak Indonesia yang tak mampu sekolah)

Keterangan penulis:
Penulis adalah koresponden detikcom di Belanda. Tulisan ini merupakan pendapat pribadi dan tidak menggambarkan sikap/pendapat tempat institusi penulis bekerja. (es/es)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads