Seratus dua puluh detik lamanya, tepat pukul 20.00 tadi malam, bangsa Belanda melakukan hening cipta dimana pun berada, tak terkecuali di resto nan chique dekat Binnenhof. Mevrouw Postma (76) setelah basa-basi di lobi, "Mijn broer (kakakku) waktu itu umur 18 tahun mereka tembak mati. Kejam sekali," Dari kiri-kanan juga terdengar lamat-lamat seluruh rupa kebiadaban Jerman dan sejuta derita bangsa Belanda.
Saya berusaha empati sekaligus menyelidik, "Mevrouw Postma, berapa lama penderitaan itu berlangsung?" Pensiunan advokat yang kecantikannya masih prima, dugaan saya berkat disuntik botoks, itu menjawab: tiga tahun. Tidakkah Mevrouw bisa memaafkan dan melupakan? "Nee. Absoluut niet!" Airmatanya mengembang berkilau bersaing dengan berlian kecil di kedua telinganya. Dialog seperti ini selalu terulang setiap tahun, dengan banyak orang Belanda dari berbagai lapisan. Tapi kalau penderitaan 3 tahun itu dikonfrontir dengan penderitaan 3,5 abad rakyat Nusantara oleh kekejaman Belanda, mereka rata-rata 'tidak merasa'.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Yang nggak nggenah itu bangsa Indonesia. Sudah ditembaki, dibantai, dan harta kekayaannya dijarah, tapi hanya puas ngapurancang mesam-mesem saja. Ironisnya, pemimpin bangsa Indonesia malah mau 'menebus kemerdekaan' ke Belanda 4,5 miliar gulden (De Indonesische Injectie, De Groene Amsterdammer/detikcom, Januari 2000) ditambah 600 juta gulden untuk ganti rugi perusahaan Belanda yang dinasionanisasi (RI Diam-diam Harus Bayar Ganti Rugi ke Belanda 600 Jt Gulden, detikcom Maret 2003). Ah, ndoro dan jongos ternyata memang beda! nDoro jadi sejahtera, jongos tetap sengsara...
Keterangan penulis:
Penulis adalah koresponden detikcom di Belanda. Tulisan ini merupakan pendapat pribadi dan tidak menggambarkan sikap/pendapat tempat institusi penulis bekerja. (es/es)