Sudah lebih dua menit petugas dari Polres Bogor itu mengamati surat-surat milik Bambang. Karena merasa suratnya lengkap dan masih berlaku Bambang tenang-tenang saja. Namun tidak lama kemudian ia merasa terkejut saat polisi itu tiba-tiba mengeluarkan surat tilang yang terselip di sepatunya. "Maaf bapak saya tilang," kata Bambang menirukan ucapan polisi tersebut kala itu.
Bambang yang bingung kemudian bertanya. "Kenapa saya ditilang," tanyanya sambil memeriksa spion, lampu sen, dan plat nomernya. Ia melihat semuanya yang terpasang di tempat yang seharusnya dan masih berfungsi. Namun alangkah terkejutnya ketika polisi itu dengan nada suara agak tunggi menuding kalau ia telah melanggar Pasal 54, UU No.14/1992, tentang Lalu Lintas. Soalnya kaca lampu sen di motor Bambang tidak orsinil dan di roda bagian depan tidak ada tutup pentilnya.
Karena merasa tuduhan itu mengada-ada Bambang langsung mendebatnya. Apalagi ia punya latarbelakang pendidikan hukum dan ia pernah bertugas di Samsat pengurusan tilang di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. "Saya tahu mengenai UU Lalu Lintas. Wong saya pernah ngurusin surat-surat tilang," kata Bambang saat ditemui detikcom di kantornya.
Ia melanjutkan kisahnya, setelah beberapa menitan berdebat seputar UU Lalu Lintas, polisi tersebut akhirnya terdesak. Kemudian dengan nada bicara agak merendah polisi itu bertanya. "Bapak kerja dimana?" Bambang akhirnya mengatakan kalau ia merupakan salah satu pegawai Kepaniteraan Pidana di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan seraya menunjukan kartu pegawainya.
Alhasil, wajah polisi itu akhirnya merah padam dibuatnya. Dengan agak malu-malu polisi itu kemudian mengaku kalau sebenarnya ia sengaja menyetop untuk sekadar mencari uang rokok. Karena merasa kasihan, Bambang akhirnya memberinya uang Rp 20 ribu kepada sang polisi.
Sampai saat ini Bambang mengaku suka tertawa sendiri bila mengingat kejadian tersebut. Ia sebenarnya menyayangkan sikap polisi yang sempat menilangnya itu. Karena ternyata polisi tersebut kurang memahami masalah hukum yang menjadi bidang tugasnya sehari-hari. "Sebagai seorang polisi lalu lintas, harusnya ia memahami secara mendalam UU Lalu Lintas," ujar Bambang.
Soal banyaknya polisi yang kurang mengerti hukum juga diakui Neta Sanusi Pane, Direktur Indonesian Police Watch (IPW). Menurutnya, untuk mengatasi persoalan ini, pendidikan anggota Lalulintas juga harus lebih tinggi minimal sarjana muda, sehingga mereka lebih melek hukum dan tidak akan mau menerima uang. Petugas yang punya pendidikan agak tinggi akan malu dan merasa terhina jika menerima duit pungli.
Selain soal pendidikan, Neta berharap agar anggota Polantas harus jelas juga jenjang karirnya. Sehingga mereka akan berpikir dua kali jika akan melakukan pungli di jalanan. Karena hal itu bisa mengandaskan masa depan kariernya.
"Sistem di Direktorat Lalu Lintas seperti sistem kerajaan. Meski sudah puluhan tahun bekerja mereka tidak pernah dipindah ke tempat lain. Apalagi kalau setorannya lancar ke atasan," jelas Neta.
Neta menduga, orang-orang lama ini sengaja dipertahankan karena pimpinan di kepolisian merasa sudah familiar sehingga dengan mudah bisa dimintai setoran.
Ia juga menyebut, saat Sutanto menjadi Kapolri, sejumlah kesatuan di Polri sudah dilakukan reformasi secara besar-besaran, kecuali di bagian lalu lintas. Penyebabnya, Direktorat Lalu Lintas selama ini menjadi lumbung uang Polri.
Andrianov Chaniago, seorang pengamat kebijakan publik, mengatakan, mentalitas polisi lalu lintas sangat mendesak untuk dibenahi jika ingin mengurangi pelanggaran lalu lintas dan pungli. "Kalau pendidikannya saja yang ditinggikan, tapi mentalnya bobrok, sama saja bohong. Mereka tetap tidak akan malu untuk melakukan pungli. Bahkan bisa lebih dahsyat lagi," pungkasnya. (ddg/iy)