Ini merupakan kali kesekian buruh demonstrasi. Unjuk rasa rutin yang digelar tepat memperingati hari buruh se-dunia (Mayday) di era kebebasan berekspresi (orde reformasi).
Celakanya, saban acara itu digelar selalu menimbulkan kerusakan dan kerugian. Kota jadi rusuh dan kumuh. Pabrik terpaksa berhenti berproduksi. Dan toko serta tempat usaha tutup karena takut.
Apalagi untuk antisipasi unjukrasa kali ini, puluhan ribu aparat keamanan bersenjata lengkap disiagakan. Ini yang membuat rakyat jelata pun jadi keder untuk sekadar melihat di sekitaran area yang dilalui aksi.
Itu bisa dimaklumi. Demo buruh itu memang mirip bom waktu. Bisa meledak kerusuhan sewaktu-waktu dengan risiko yang unpredictable. Penyebabnya bisa massa yang membeludak tersulut untuk bikin onar. Atau berasal dari aparat yang kalap di tengah situasi tak terkendali. Jika sudah begitu, siapa saja yang dekat dengan aksi punya kans untuk dilibatkan biarpun tidak terlibat.
Membayangkan itu semua, kita jadi bertanya-tanya. Adakah memang harus begitu jika buruh berulangtahun. Dan adakah dengan cara itu buruh meminta pemerintah agar merevisi UU Ketenagakerjaan yang dianggap tidak berpihak pada buruh. Apalagi buruh-majikan secara hukum juga bias. Bisa seluruh umat manusia di jagat raya ini masuk kategori buruh.
Itu perlu kita pertanyakan, karena arogansi bukanlah budaya kita. Tradisi buruh adalah kelemahlembutan. Lembut yang bukan lemah. Watak itu yang menempatkan buruh bukan sekadar orang upahan. Dia adalah bagian dari sistim famili atau komunitas. Dia bukan βorang luarβ yang cuma cari makan dan menerima upah dari tenaganya. Itu kenapa buruh dalam tradisi Jawa disebut rencang. Buruh itu teman (rencang).
Sebagai teman, buruh dalam melakukan tugasnya tidak semata profit oriented. Pekerjaan yang dilakukan adalah lebih dari itu. Ada rasa sosial sebagai teman. Sebagai teman membantu pekerjaan teman.
Itu mengapa seorang buruh yang bekerja menyatakan pekerjaannya adalah rewang (membantu). Dalam konteks ini, hubungan buruh dan majikan adalah rencang rewang di rumah rencang. Artinya, teman membantu teman di rumah teman atau di perusahaan teman.
Dalam rewang (membantu), rencang (buruh) bukan hanya membantu pekerjaan fisik. Rencang juga memberi bantuan lebih. Rencang tidak sekadar rewang, karena posisinya juga sebagai batur, singkatan dari embat-embate pitutur (pertimbangan pendapat).
Untuk itu, buruh selain disebut rencang (teman) juga dikatakan sebagai batur. Konsultan spiritual bagi sang teman, jika sedang punya problem batiniah. Dalam bahasa Jawa, rencang rewang juga sebagai batur (teman membantu teman juga untuk dimintai dan memberi pendapat).
Namun adakah dengan begitu tidak ada profesionalisme bagi buruh, dan sang majikan bebas menggencet buruh? Sesama teman yang saling membutuhkan tentu tak akan terjadi itu. Sebab di dalamnya ada tali-temali yang tidak bisa diurai. Rencang dan rencang sudah menyatu. Buruh dan majikan tidak ada sekat.
Hakekatnya, manusia yang tergantung pada manusia lain, akan dipaksa untuk saling profesional dalam apa saja. Itu pula mengapa dalam cerita perlambang (wayang), batur diekspresikan sebagai ponakawan.
Dia bukan manusia arogan. Batur sosok yang jujur, luhur dan berbudi. Dia ada untuk menjalankan peran itu. Untuk 'melayani' manusia lain demi harmonisasi jagad. Demi ketentraman dunia.
Jika roh dari rencang rewang dan batur diaplikasikan dalam hubungan 'buruh dan majikan', maka tidak hanya kemajuan usaha sang majikan dan kesejahteraan buruh yang bakal didapat, tetapi juga harmonisasi antar pihak.
Keterangan Penulis:
Djoko Su'ud Sukahar, pemerhati budaya, tinggal di Jakarta. Alamat e-mail jok5000@yahoo.com. (iy/iy)