"Mayoritas PRT Migran Indonesia yang bekerja di luar negeri dilatarbelakangi dengan pendidikan yang relatif rendah. Di antara mereka tidak sekolah, tidak lulus SD, lulus SD, lulus SMP dan sebagian kecil lulus SMA," ujar Direktur Eksekutif Migrant Care Anis Hidayah dalam keterangan tertulis kepada detikcom, Senin (21/4/2008).
Dan faktanya, imbuh Anis, 43 persen TKW adalah lulusan SD. Hal ini terjadi karena pendidikan di kalangan masyarakat bawah masih mahal untuk diakses perempuan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kondisi ini justru mendorong para laki-laki atau suami melakukan poligami ketika istrinya tengah bekerja di luar negeri," tukas dia.
Masalah ketiga, adalah upah yang rendah bagi TKW Indonesia di luar negeri. Perbedaan itu terjadi pada bidang pekerjaan yang sama dengan laki-laki. Tak hanya dengan laki-laki, diskriminasi upah itu juga terjadi dengan sesama TKW yang berbeda negara.
"Di Malaysia, upah PRT Indonesia kisaran RM 400-500, sementara PRT Filipina mencapai RM 700 β 1200. Di Saudi Arabia, PRT Migran Indonesia hanya memperoleh upah 600 Real dengan jam kerja yang relatif tidak terbatas dan hal ini telah terjadi puluhan tahun," kata Anis.
Di luar ketiga hal tersebut di atas, imbuhnya, masih sangat banyak masalah yang dihadapi Kartini Indonesia yang bekerja di luar negeri. Yang paling mendasar, adalah belum adanya pengakuan PRT migran sebagai bentuk pekerjaan formal yang dilindungi oleh hukum.
"Ironisnya, pemerintah justru tengah merumuskan kebijakan pengurangan pengiriman jumlah PRT ke luar negeri. Padahal sebenarnya yang dibutuhkan PRT Indonesia di luar negeri adalah perlindungan yang nyata," tegas Anis. (nwk/nrl)