Pendidikan, Poligami dan Upah Kartini di Luar Negeri

Pendidikan, Poligami dan Upah Kartini di Luar Negeri

- detikNews
Senin, 21 Apr 2008 08:33 WIB
Jakarta - Kartini pada awalnya memberontak karena menuntut pendidikan yang sama dengan laki-laki. Hingga era milenium ini, masih banyak juga para Kartini atau TKW di luar negeri yang tak mendapatkan pendidikan tinggi. Ditambah rumitnya masalah tentang upah dan poligami.

"Mayoritas PRT Migran Indonesia yang bekerja di luar negeri dilatarbelakangi dengan pendidikan yang relatif rendah. Di antara mereka tidak sekolah, tidak lulus SD, lulus SD, lulus SMP dan sebagian kecil lulus SMA," ujar Direktur Eksekutif Migrant Care Anis Hidayah dalam keterangan tertulis kepada detikcom, Senin (21/4/2008).

Dan faktanya, imbuh Anis, 43 persen TKW adalah lulusan SD. Hal ini terjadi karena pendidikan di kalangan masyarakat bawah masih mahal untuk diakses perempuan.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Masalah kedua, lanjut Anis, adalah poligami. Poligami selalu mengikuti perempuan Indonesia yang bekerja di luar negeri. Keberangkatannya ke luar negeri sebagai tulang punggung ekonomi keluarga, imbuhnya, tidak serta merta mendapat pengakuan dari keluarga maupun masyarakat.

"Kondisi ini justru mendorong para laki-laki atau suami melakukan poligami ketika istrinya tengah bekerja di luar negeri," tukas dia.

Masalah ketiga, adalah upah yang rendah bagi TKW Indonesia di luar negeri. Perbedaan itu terjadi pada bidang pekerjaan yang sama dengan laki-laki. Tak hanya dengan laki-laki, diskriminasi upah itu juga terjadi dengan sesama TKW yang berbeda negara.

"Di Malaysia, upah PRT Indonesia kisaran RM 400-500, sementara PRT Filipina mencapai RM 700 – 1200. Di Saudi Arabia, PRT Migran Indonesia hanya memperoleh upah 600 Real dengan jam kerja yang relatif tidak terbatas dan hal ini telah terjadi puluhan tahun," kata Anis.

Di luar ketiga hal tersebut di atas, imbuhnya, masih sangat banyak masalah yang dihadapi Kartini Indonesia yang bekerja di luar negeri. Yang paling mendasar, adalah belum adanya pengakuan PRT migran sebagai bentuk pekerjaan formal yang dilindungi oleh hukum.

"Ironisnya, pemerintah justru tengah merumuskan kebijakan pengurangan pengiriman jumlah PRT ke luar negeri. Padahal sebenarnya yang dibutuhkan PRT Indonesia di luar negeri adalah perlindungan yang nyata," tegas Anis. (nwk/nrl)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads