Di atas bus kota, pria gagah ini bercerita betapa kerasnya hidup di Jakarta. Betapa susahnya cari kerja. Maka ia beralasan, dari pada jadi kriminal, lebih baik jadi peminta-minta di bus kota. "Tolonglah saya, hanya untuk sekadar membeli makan pagi ini saja," pinta si pria gagah itu dengan gaya dibuat memelas sambil membungkukkan badannya dalam-dalam. Si pria gagah itu kembali membungkuk sambil mengucapkan terimakasih setiap ada orang yang memberinya recehan.
Mengapa orang sampai bisa kehilangan harga diri seperti itu? Gagah-gagah kok tidak tahu malu? Mau-maunya membungkuk-bungkuk hanya untuk angsuran recehan! Dasar orang malas, gerutu Jeng Jeni.
Saat ngopi bersama sang suami, Jeng Jeni menceritakan kisah 'orang tanpa harga diri' itu. Mas Hari, suaminya yang seorang dosen mesam-mesem mendengar cerita Jeng Jeni. Setelah menyeruput kopi instan, Mas Hari berkata, "Itu masih lumayan Jeng! Banyak tuh perempuan melacur, apa itu bukan orang yang menjual harga dirinya?" kata Mas Hari.
"Tapi masalahnya adalah, apakah orang-orang itu tidak mempunyai harga diri karena bawaan nasib atau karena memang dipaksa tidak memiliki harga diri?" ulas Mas Hari.
"Maksud Mas, ada orang yang tidak memiliki harga diri karena memang dibuat seperti itu? Mereka dipaksa tidak memiliki harga diri atau membuang harga dirinya karena tidak punya pilihan lain?" tukas Jeng Jeni.
"Ya iyalah Jeng! Kalau negara mengurus kesejahteraan warganya dengan baik, pekerjaan bisa gampang didapat, pendidikan tidak mahal sehingga bisa diraih semua orang, ya nggak mungkin toh, atau setidaknya ya sedikitlah, orang mau membuang harga dirinya. Masa ada sih orang yang dengan sukarela mau kehilangan harga dirinya?"
"Wah, kalau apa-apa pemerintah yang disalahin, ya nggak selesai-selesai Mas."
"Loh bukannya memang para pejabat, yang bekerja di pemerintahan itu kita bayar lewat pajak untuk mengurus warganya agar sejahtera? Mereka kan memang abdi negara, Jeng. Kalau semuanya, lagi-lagi harus warga juga, warga juga, lalu apa tugas pemerintah?"
"Saat semua harga pada naik, apa coba yang turun, Jeng? Harga dirilah yang kemudian turun atau terpaksa diturunkan. Kalau sebagai warga, apalagi serba terbatas, masih beruntung bisa menjaga harga diri agar tidak hilang. Syukur-syukur lagi bisa membantu saudara, sahabat, atau orang dekat kita agar jangan sampai kehilangan harga dirinya," terang sang dosen.
Jeng Jeni lalu diam. Kalah seri rupanya. Ia mengangguk-angguk lalu mencomot donat. Tapi kemudian ia berkata. "Seharusnya memang seperti itu Mas. Sayangnya orang-orang yang berkuasa itu banyak juga yang tidak memiliki harga diri. Mereka memang tidak merunduk-runduk di bus kota. Mereka itu sopan, berpura-pura seperti orang yang punya harga diri. Tapi mereka tidak tahu malu dengan menjadi peminta-minta atau bahkan pemeras. Bedanya, mereka bermodal proposal atau peraturan yang mereka buat."
"Begitulah Jeng. Orang tanpa harga diri itu bukan hanya karena miskin dan tidak mempunyai pekerjaan. Memiliki pekerjaan tapi berselingkuh, alias mengkhianati pekerjaannya, ya sama saja juga dengan tidak punya harga diri. Makanya ada jaksa, yang pekerjaannya jelas-jelas terhormat, ditangkap karena minta suap. Lalu ada pejabat yang digaji negara asyik tidur saat Presiden memberi pengarahan," kata Mas Hari.
Sesaat pembicaraan serius itu terhenti. Hiroku, anak pasangan suami istri itu, baru pulang dari main. "Yah, boleh nggak nonton TV?" tanya Hiroku setelah masuk rumah dan mendekati ayah ibunya. Mas Hari mengangguk, dan lantas memencet remot control. Di televisi ada berita seorang anggota DPR ditangkap KPK. Namanya Al Amin Nasution."Tuh Jeng. Nabi kan mendapat gelar Al Amin, artinya orang yang bisa dipercaya. Ini anggota DPR, namanya Al Amin kok malah tingkahnya seperti itu. Alamak," sinis Mas Hari.
Keterangan penulis:
Iin Yumiyanti adalah wartawan detikcom. Tulisan ini merupakan pendapat pribadi dan tidak menggambarkan sikap/pendapat tempat institusi penulis bekerja. (iy/nrl)