Kerja 12 Th Status Tetap Kontrak

Perbudakan Ala Outsourcing (1)

Kerja 12 Th Status Tetap Kontrak

- detikNews
Kamis, 03 Apr 2008 08:53 WIB
Jakarta - Sejak tahun 2000, Pupu Saefulloh bekerja di PT Kereta Api Indonesia (KAI), Divisi Jabotabek. Tapi hingga akhir Maret, statusnya tidak kunjung jelas. Ia masih saja berstatus karyawan kontrak. Akibatnya, gajinya tetap saja di bawah standar upah minimum. Soal tunjangan apalagi. Selama ia bekerja paling hanya menerima uang tunjangan di hari lebaran yang nilainya ala kadarnya, yakni Rp 200 ribu.

Awalnya ia bekerja di PT KAI sebagai satgas yang bertugas di sejumlah stasiun kereta di wilayah Jabotabek. Pupu dan satgas yang lain direkrut PT KAI dari sejumlah perguruan bela diri, seperti Boxer, Inkai, dan Perisai Diri. Setelah empat tahun bekerja ternyata statusnya tidak kunjung beranjak. Ia masih saja berstatus karyawan kontrak.

Di bulan Juli 2004, nasibnya semakin tidak karuan. Bukannya diangkat jadi karyawan tetap, ia justru dimasukan ke Koperasi Wahana Usaha Jabodetabek (Kawasjab), sebuah perusahaan alih daya atau outsourcing yang punya kontrak kerja dengan PT KAI. Hasilnya, karier Pupu dan kawan-kawan sesama satgas mulai dari nol lagi, begitupun gajinya.

Untung saja Pupu masih memiliki sebuah warung kecil di depan rumah di wilayah Depok. Dari warung itulah dapur keluarganya bisa ngebul setiap hari.

"Kalau ngandelin gaji bisa berabe saya," ujar Pupu, bapak dua anak ini kepada detikcom. Tapi menurut Pupu, nasibnya masih jauh lebih baik dibanding teman-teman sekerjanya yang lain. Sebab banyak teman kerjanya yang hingga saat ini bergaji Rp 500 ribuan per bulan. Padahal mereka ada yang telah bekerja selama 10 hingga 12 tahun di perusahaan pelat merah tersebut.

Saat ini jumlah pekerja outsourcing di PT KAI Divisi Jabotabek sebanyak 223 orang sedangkan pekerja harian lepas (PHL) berjumlah 181 orang. Mereka umumnya bertugas sebagai porter dan satgas yang bertugas menertibkan pedagang kaki lima dari stasiun-stasiun kereta. Ada juga yang bertugas di bagian penjualan tiket dan pintu masuk.

Tidak menentunya nasib mereka menurut Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, akibat akal bulus PT KAI. Mereka sengaja di masukan ke perusahaan outsourcing supaya bisa lepas dari tanggung jawab. Apalagi Kowasjab merupakan koperasi pegawai PT KAI yang terdiri dari para kepala stasiun dan pegawai tetap PT KAI.

"Ini bukti akal-akalan dari PT KAI. Mereka ingin lepas tanggung jawab terhadap karyawannya," kata Restaria Hutabarat dari LBH Jakarta.

Dengan membentuk perusahaan outsourcing, lanjut Restaria, PT KAI bisa mendapat keuntungan ganda. Selain bisa mengirit biaya, PT KAI bisa mengeruk untung dari pemotongan gaji para pekerja melalui Kowasjab. Misalnya gaji yang diterima Pupu Saefulloh. Sesuai kontrak kerja antara PT KAI dengan Kowasjab, ia bergaji Rp 1,4 juta per bulan. Tapi yang Pupu terima setiap bulan hanya Rp 900 ribu. Sisanya untuk Kowasjab sebagai penyalur tenaga kerja.

Rupanya bukan soal gaji saja yang bikin para karyawan outsourcing di PT KAI yang ketar-ketir. Kelangsungan mendapat gaji setiap bulan juga terancam pupus. Soalnya akhir Maret lalu, masa kerja mereka berakhir lantaran PT KAI tidak lagi memperjanjang kerjasamanya dengan Kowasjab. Hal ini kemudian mengundang kekhawatiran mereka yang berujung pada aksi demo dan mogok kerja sejak 31 Maret lalu.

Mereka berunjuk rasa ke PT KAI Divisi Jabotabek dengan tuntutan penghapusan sistem kerja outsourcing dan segera mengangkat mereka sebagai buruh tetap. Selain berdemo mereka juga mengadukan nasibnya ke LBH Jakarta. "Sistem outsourcing yang dijalankan KAI melanggar UU Ketenagakerjaan," ujar Restaria, yang mewakili Serikat Pekerja KAI Jabotabek.

PT KAI dituding telah melanggar Pasal 64 UU No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan yang menyebutkan bahwa perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa pekerja yang dibuat secara tertulis.

Syaratnya, pekerjaan yang diserahkan kepada perusahaan lain itu bukan merupakan pekerjaan utama. Jadi, hanya boleh untuk kegiatan penunjang.

Tapi nyatanya pekerja outsourcing ini ditugaskan di pekerjaan utama atau inti di PT KAI, misalnya petugas tiket, administrasi dan penjaga pintu masuk.

Parahnya lagi, kata Restaria, Kowasjab ternyata tidak memiliki izin pengelolaan outsourcing. Padahal menurut UU NO 13/2003 tentang tenaga kerja, perusahaan pengelola outsourcing harus berbadan hukum dan memiliki izin pengelolaan.

Iji Wahidin, Direktur Kowasjab, saat dihubungi detikcom menampik bila dikatakan perusahaanya illegal. Menurutnya perusahaan pengelola tenaga kerja yang dipimpinnya mengantongi izin dari Dinas Tenaga Kerja DKI Jakarta, tertanggal Januari 2004.

Namun setelah dicek tim pengacara publik dari LBH Jakarta di lembaga terkait, nama Kowasjab nihil dari daftar perusahaan pengelola tenaga kerja. Untuk itu, Restaria berkesimpulan Kowasjab tidak punya pijakan hukum dalam merekrut tenaga outsourcing atau illegal. Bila perusahaan pengelola tenaga kerja bermasalah, menurut UU yang sama, penyelesaian hubungan kerja dilakukan langsung dengan perusahaan pemberi kerja, yakni PT KAI.

Lebih jauh Restaria menyebut, sistem kerja outsourcing di sejumlah perusahaan di Indonesia memang menimbulkan banyak masalah. Ia mengaku sudah memprediksi, dengan ditetapkannya sistem outsourcing akan sangat merugikan pekerja. Sebab sistem outsourcing layaknya jual beli manusia atau perbudakan. Mereka hanya dijadikan obyek untuk mencari keuntungan semata. Sementara kesejahteraan serta nasib mereka diabaikan.

Ketika mereka menuntut keadilan dan kesejahteraan, perusahaan dengan mudah mem-PHK atau mencari tenaga pengganti. Seperti yang dilakukan PT KAI saat para pekerja outsourcing mereka melakukan aksi mogok. Perusahaan milik negara ini langsung menerjunkan polisi serta pelajar SMA untuk menggantikan posisi mereka yang mogok kerja.

Hal ini bukan perkara sulit bagi perusahaan. Sebab posisi pekerja outsourcing memang sangat lemah. "Outsourcing bukan hanya menempatkan buruh sebagai budak. Sistem ini bisa membunuh buruh dan pekerja," tegas Ribka Tjiptaning, Ketua Komisi IX DPR kepada detikcom. Namun pihak legislatif, kata Tjiptaning, tidak dapat berbuat banyak. Sebab dengan alasan butuh pekerjaan, masyarakat mau tidak mau terjerumus dalam perusahaan outsourcing.

Persoalan lainnya, selagi ekonomi pemerintah masih berkiblat pada kapitalis sistem outsourcing akan tumbuh subur. Pemerintah berdalih dengan outsourcing bisa merangsang minat investor untuk menanamkan modalnya. Tapi menurut Tjiptaning, yang jadi biaya tinggi bagi investor sebenarnya bukan terkait upah buruh, melainkan akibat buruknya birokrasi dan tidak adanya kepastian hukum dalam berinvestasi. Sudah jamak bila investor selalu bagi-bagi "amplop" kepada para birokrat. Karena biaya tinggi investor pun mengalihkan bebannya dengan memangkas upah pekerja supaya bisa dapat untung. (ddg/iy)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads