Gerilya Memotret di Pretoria

Laporan dari Afsel

Gerilya Memotret di Pretoria

Luhur Hertanto - detikNews
Rabu, 19 Mar 2008 07:45 WIB
Gerilya Memotret di Pretoria
Pretoria - Merekam suasana sekitar sebagai kenang-kenangan, adalah salah satu kegiatan wajib setiap orang ketika kunjungi daerah baru. Tetapi lakukan secara begerilya bila Anda berada di Pretoria, Afrika Selatan.

Tidak semua yang Anda potret, senang masuk dalam frame foto atau video yang Anda buat. Bahkan bisa menjadi urusan panjang yang mengesalkan.

Inilah yang penulis sempat alami saat berkesempatan jalan-jalan sore di ibu kota pemerintahan Afsel tersebut. Hanya gara-gara 3 frame foto, terpaksa berurusan dengan aparat kepolisian dengan risiko kamera pecah.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Peristiwa ini bermula ketika memotret pertokoan di ruas Van Der Walt Street yang mulai akan tutup padahal baru pukul 17.00. Kebetulan ada seorang polisi yang mengawasi tutupnya toko-toko di sepanjang blok tersebut.

Di tengah keasyikan saya memotret, tiba-tiba polisi itu menghampiri. Ia bertanya apakah saya memotretnya dan apa tujuan saya dengan foto-foto itu.

Saya membenarkannya, memang dia berada dalam frame foto yang baru saja saya buat. Mendadak ia merebut kamera sambil berteriak marah dengan alasan tidak suka dengan tindakan saya memotret dirinya.

Reflek saya merebut balik dan kami pun tarik-menarik kamera. Pak Polisi ini mengancam akan membanting kamera hingga pecah kalau saya tidak menyerahkannya dan ia tidak peduli bahwa saya adalah jurnalis yang datang ke Pretoria sebagi tamu dari Presiden Afsel Tambo Mbeki.

Kejadian ini menarik perhatian pejalan kaki lainnya. Mereka mengerumuni dan kerumunan itu mengudang polisi lainnya berdatangan, ya sudah pasti posisi saya semakin terdesak.

Untung seorang pemuda kulit putih menengahi keadaan. Usai bernosiasi, menawarkan jalan tengah bahwa demi menghindari hancurnya kamera maka saya sebaiknya merelakan kartu memor berisi foto biang masalah itu ke Pak Polisi.

Karena Pak Polisi telah menolak tawaran menghapus gambar, maka usul solusi di atas saya terima. Kartu memori berpindah ke saku Pak Polisi lalu ia mengembalikan kamera saya.

Sebelum meninggalkan TKP, dengan simpatik si pemuda kulit putih berbisik agar saya tetap berada di lokasi. Ia yakin setelah lebih tenang, Pak Polisi itu bisa kembali diajak bicara untuk mengembalikan kartu memori saya.

Saya terima usul yang masuk akal itu. Di satu sisi saya yakin Pak Polisi ini tidak punya niat buruk, karena sebenarnya saat berebut kamera dia gampang saja membantingnya atau bahkan melumpuhkan saya sekali pun.

Selang setengah jam kemudian, saya hampiri Si Polisi yang masih berada di TKP karena memang bertugas di situ sampai besok pagi. Saya lagi-lagi gagal menyakinkannya bahwa foto di kamera digital bisa dihapus seketika.

Harapan saya tinggal pada Charles -- pengemudi mobil sewaan saya -- yang baru akan datang menjemput dua puluh menit kemudian. Syukurlah dia sampai lebih cepat, saya pun minta bantuannya untuk merayu Pak Polisi mendapatkan kembali kartu memori saya.

Dalam bahasa daerah setempat, dia memintakan maaf atas kesembronoan saya. Dengan tutur kata lemah lembut dan sikap badan menunjukkan kerendahan hati ia mengulangi kembali tawaran saya untuk menghapus file foto.

Alhamdulillah, berhasil. Saya segera memasukan kartu memori ke kamera lalu mengajari Pak Polisi yang mulai lumer hatinya itu menghapus sendiri file foto mana saja yang ia anggap bermasalah. Setelah yakin bahwa semua file itu terhapus, kami berjabatan tangan.

Di dalam perjalanan kembali ke hotel, Charles ganti memintakan maaf atas kasar Pak Polisi tadi. Ayah 3 anak ini juga minta memaklumi sikap yang dipengaruhi latar belakang budaya berbeda.

Seperti fotografer lainnya, yang terpenting kamera serta kartu memori dapat selamat kembali ke haribaan saya. Lagipula file foto yang dihapus paksa tadi bisa dimunculkan kembali kok nanti.

(lh/nrl)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads