Lubang Jalan Nasional Makin Lebar

Catatan Agus Pambagio

Lubang Jalan Nasional Makin Lebar

- detikNews
Senin, 03 Mar 2008 09:15 WIB
Jakarta - Musim hujan belum akan berakhir segera mengingat Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) masih terus memperingatkan kita semua untuk tetap berhati-hati karena curah hujan dan angin kencang m serta gelombang pasang setinggi 4 m di beberapa daerah di
Nusantara masih berpotensi muncul setiap saat.

Belum lagi gempa bumi yang tampaknya juga masih terus terjadi seakan-akan bersahut-sahutan di beberapa daerah. Kondisi ini tentunya menyebabkan jaringan infrastruktur, seperti jalan raya hancur dan ujung-ujungnya akan mengganggu jalur perekonomian nasional.

Jalan raya sampai saat ini masih menjadi salah satu urat nadi utama ekonomi yang menghubungkan kota-kota, khususnya di P Jawa-Bali-Madura dan Sumatra melalui jalan nasional. Namun infrastruktur jalan nasional sejak krisis ekonomi lalu hancur dan tidak bertambah secara signifikan. Bahkan saat ini bertambah hancur karena cuaca dan ketidakbecusan instansi terkait pengelola jalan nasional, dalam hal ini Departemen Pekerjaan Umum (PU).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Kalau kita tanyakan pada pejabat yang berwenang menangani jalan raya nasional di Direktorat Jenderal Bina Marga, Departemen PU pasti yang dipersalahkan menjadi penyebab rusaknya jaringan jalan nasional adalah cuaca, anggaran yang minim (pemotongan APBN 2008) dan banyaknya kendaraan dengan berat berlebih (over loaded) yang sampai sekarang masih dibiarkan berlalu lalang oleh Kepolisian maupun Departemen Perhubungan. Alasan ini memang ada benarnya tetapi tidak selalu. Untuk itu mari kita coba lihat satu persatu mengapa kualitas jalan raya nasional kita semakin hari bukan semakin bertambah tetapi semakin hancur.

Mengapa Jalan yang Dibangun Bina Marga Mudah Hancur ?

Jalan nasional di Pulau Jawa awalnya memang dibangun dengan darah bangsa Indonesia atas perintah oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda: Herman Willem Daendels pada tahun 1801 dan dikenal sebagai Jalan Raya Pos, yaitu jalan raya Anyer sampai Panarukan. Jalan inilah yang menjadi cikal bakal jalan raya nasional di Pulau Jawa. Pasca kemerdekan RI, jalan raya nasional di Pulau Jawa terus berkembang hingga ada jalur Utara, Tengah dan Selatan.

Rusaknya jalan karena cuaca (banjir) sebenarnya tidak perlu terjadi jika drainase atau saluran pembuangan air di sisi kiri kanan jalan raya nasional baik serta pengerjaannya sesuai dengan spesifikasi teknis yang ditetapkan. Kentalnya aroma korupsi dalam setiap pembangunan jalan nasional patut diduga menjadi penyebab kontraktor harus mengurangi mutu pekerjaan demi memenuhi "kutipan" pejabat berwenang.

Selain tidak membangun drainase (meskipun spesifikasi pekerjaan dan anggaran tercantum) supaya ada sisa dana, cara nakal lain adalah dengan mencampur aspal dengan oli bekas atau minyak tanah sehingga kekentalan dan daya ikat aspal berkurang.

Dalam pembukuan proyek jumlah aspal yang seharusnya dibeli berbeda dengan yang digunakan di proyek. Aspal dikurangi jumlahnya dan sebagai penggantinya ditambahkan oli bekas atau minyak tanah sehingga kontraktor bisa lebih berhemat guna memenuhi
permintaan pemilik proyek. Patut diduga korupsi aspal selama ini marak dalam proyek pembuatan atau perbaikan jalan di Indonesia, namun seperti biasa sulit dibuktikan.

Kedua, masalah minimnya anggaran Departemen PU tentunya akan berpengaruh terhadap kondisi jalan raya nasional karena penanggung jawab jaringan jalan nasional bukan Pemerintah Daerah tetapi Pemerintah Pusat. Jadi anggarannya harus berasal dari
Departemen PU, Direktorat Jenderal Bina Marga. Sulit memang mengharapkan infrastruktur yang mulus namun dibiayai dengan anggaran minim.

Ketiga, rusaknya jalan nasional karena over loading sepertinya terlampau dilebih-lebihkan. Seperti diketahui bahwa Direktorat Jenderal Bina Marga membuat desain jalan raya sebagai berikut: jalan dibangun atau diperbaiki untuk jangka waktu 5 tahun ke depan. Jalan tersebut harus dapat dilalui oleh kendaraan angkut dengan sumbu sebesar 10 ton dan dapat dilalui (repetisi) sebanyak 100 juta kali (sesuai dengan Highway Capacity Mannual Standard).

Namun karena jalan tersebut sering dilewati kendaraan dengan berat melebihi 10 ton, maka hanya dalam waktu 1 tahun repetisinya sudah mencapai 66 juta kali. Artinya hanya dalam 1,5 tahun saja, jalan nasional tersebut sudah rusak.

Pertanyaan saya: Mengapa jaringan jalan tol tingkat kerusakannya tidak separah jalan nasional? Apakah jumlah kendaraan yang melewatinya sangat berbeda ? Atau besaran anggaran perawatan dan desainnya berbeda?

Pertanyaan-pertanyaan tersebut berlarian di kepala saya. Apakah infrastruktur yang dikelola oleh departemen teknis berbeda dengan yang dikelola oleh BUMN atau perusahaan terbuka yang sebagian sahamnya dimiliki publik?

Kalau kita perhatikan dengan seksama, 95% truk yang kelebihan muatan dan melalui jalan nasional, pada akhirnya juga melalui jalan tol pantura. Namun mengapa jalan tol tidak rusak separah jalan nasional? Padahal selain dilalui oleh jumlah kendaraan yang sama, juga diguyur hujan dengan intensitas yang sama. Keanehan ini tentunya harus dijawab oleh Pemerintah supaya adil.

Apa yang Harus Dilakukan Pemerintah ?

Untuk menjawab beberapa pertanyaan tersebut di atas dan memperbaiki kualitas jalan nasional minimal sekelas jalan tol, saran saya Pemerintah perlu melakukan beberapa langkah, seperti:

1. Dalam pelaksanaan tender Contractor Management (kontraktor, konsultan, perusahaan jasa kemanan) yang terkait dengan pembuatan atau perbaikan jalan nasional, sebaiknya diterapkan sistem PBS (Performance Based Contract) yang meliputi perawatan, rehabilitasi dan pengembangan sekaligus pengontrolan terhadap jalan nasional dengan menggunakan sistem konsesi panjang tertentu (misalnya sepanjang 150 km).

Contractor Management pemenang tender selain harus membangun/memperbaiki juga harus mengawasi jalan nasional yang menjadi daerah konsesinya agar kendaraan yang kapasitasnya melebihi kemampuan jalan nasional (over loading) dilarang melalui ruas
jalan yang menjadi tanggung jawabnya (sepanjang 150 km) tersebut.

Kontrak diberikan oleh Bina Marga Departemen PU selama 5 tahun ke depan dengan KPI (Key Performance Index) yang jelas dan dengan tingkat International Roughness Index (IRI) tertentu.

2. Gunakan kembali sistem ”Swakelola Mandor Jalan” seperti yang pernah digunakan Pemerintah Hindia Belanda dulu untuk daerah-daerah yang belum mempunyai ahli jasa konstruksi dan belum mempunyai banyak alat berat. Berarti Pemerintah harus investasi untuk pembelian alat-alat berat UPR (Unit Pemeliharaan Rutin). Namun untuk di Pulau Jawa, sistem Mandor ini tidak perlu dilakukan karena bisa merupakan pemborosan mengingat di Pulau Jawa kontraktor sudah mempunyai peralatan lengkap.

3. Menteri PU harus berani dan tegas menindak penanggung jawab proyek di Departemen PU dan melawan kontraktor jalan nasional pemenang tender yang nakal dan masih mencampur aspal dengan oli bekas atau minyak tanah. Dengan kata lain Menteri PU harus berani demi tingginya kualitas jalan di Indonesia.

Jika tiga hal tersebut dapat segera dilaksanakan, insya Allah lubang di jalan nasional tidak semakin dalam dan lebar meskipun curah hujan sangat tinggi sehingga tidak mengganggu perekonomian nasional. Semoga!

Agus Pambagio (Pemerhati Kebijakan Publik dan Perlindungan Konsumen).
(nrl/nrl)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads