Ardianto dan sebagian besar warga Badau yang lain, memilih membeli sejumlah keperluan ke negeri seberang dengan berbagai sebab. Selain banyak barang kebutuhan yang bisa dibeli, lokasinya juga dekat dan akses jalannya bagus.," Kita ke Lubukantu hanya butuh waktu 10 menit. Seperti ke warung saja," jelas Ardianto saat dihubungi detikcom.
Sementara bila ingin ke Putussibau, Kota Kabupaten Kapuas Hulu, warga setempat harus menempuh jarak 123 kilometer, melalui jalan raya yang dipenuhi lubang. Paling tidak, kata Ardianto, dibutuhkan waktu 5-6 jam untuk ke sana.
Padahal dengan jarak yang sama, yakni ke wilayah Seriaman, salah satu kota kabupaten di Malaysia, hanya memakan waktu paling lama 2,5 jam. Sebab jalan menuju ke sana sangat mulus. Tak heran kalau banyak warga Badau dan kecamatan lain yang terletak di perbatasan memilih berbelanja atau berniaga ke negeri jiran tersebut.
Penyebab lainnya, harga-harga kebutuhan dasar di sana relatif miring dibanding yang dijual di wilayah Kapuas Hulu, atau Pontianak. Sebut saja harga gas. Bila membeli gas yang dijual Pertamina di Putussibau atau di Kecamatan Badau, harganya mencapai Rp 100 ribu lebih. Sedangkan kalau membeli gas asal Malaysia, harganya bisa separuhnya.
Menurut Haris, warga Badau, barang-barang Malaysia juga banyak yang dijual di Pontianak atau Putussibau. Umumnya masyarakat lebih suka membeli barang-barang tersebut karena harganya murah dibanding barang-barang asal tanah Jawa.
Harga miring meski barang impor, diduga akibat nihilnya bea masuk atau pajak yang dibebankan. "Semua barang dari Malaysia dimasukan oleh warga Indonesia di perbatasan," imbuh Haris. Para pedagang dari Indonesia pun demikian. Mereka bebas berdagang sayur atau buah-buahan tanpa dipungut biaya. Tapi syaratnya, tidak boleh lebih dari 24 jam berada di negeri itu.
Keluar masuknya warga berikut barang dagangan dari Malaysia atau sebaliknya, sangat mudah. Sebab warga kedua negara cukup membawa pas putih dari imigrasi, yang masa berlakunya hanya satu hari.
Tapi kedatangan warga dari negara yang berbeda ini punya kepentingan masing-masing. Biasanya, warga Malaysia datang ke Indonesia untuk bersilaturahmi ke sanak famili yang tinggal di Kalimantan. Sedangkan warga Indonesia umumnya punya tujuan berniaga atau bekerja.
Pastinya, interaksi sosial antar warga Indonesia dan warga Malaysia di perbatasan sudah terjalin sekian lama. Tak heran, kata Ardianto, mereka seperti tetangga rumah saja. Bukan tetangga negara. Kondisi serupa juga terjadi Singkawang, Sanggau, dan Bengkayan. Tiga kabupaten di Kalimantan Barat tersebut, letaknya juga berbatasan dengan Malaysia.
"Tapi bukan berarti warga di sini (Kecamatan badau) menjadi warga Malaysia. Apalagi jadi tentara di sana," tegas Ardianto menyikapi tudingan sejumlah politisi di Jakarta, yang menyebut banyak WNI jadi Askar Wataniah, pasukan cadangan tentara darat Diraja Malaysia.
Sejak ramainya berita Askar Wataniah di Jakarta, ujar Ardianto, ia dan jajarannya langsung mengecek ke sejumlah desa yang ada di wilayah Kecamatan Badau. Maklum, seluruh wilayah Badau berbatasan langsung dengan negeri jiran tersebut.
Tapi setelah dilakukan pendataan ternyata tidak ada satu pun warga di wilayah itu yang jadi tentara 'cabutan' Diraja Malaysia."Kalau warga Indonesia yang sekarang jadi warga Malaysia memang ada yang jadi tentara. Itu pun karena sudah turun-temurun menetap di sana," begitu kata Ardianto.
Kepala BIN, Syamsir Siregar juga mengatakan demikian. Kata Syamsir, kabar adanya WNI yang direkrut jadi Askar Wataniah belum terbukti. Sebab anak buahnya tidak ada yang memberikan infomasi seperti itu. "jangan ngarang-ngarang lah," jawabnya ketika didesak wartawan. Syamsir punya pendapat, selama ini para pendatang ilegal yang datang ke Malaysia banyak yang diusir. Sehingga kalau merekrut WNI tentu khawatir jangan-jangan akan disusupi.
Tapi beberapa politisi di Senayan tetap dengan informasi yang didapatnya. Mereka menilai, nasionalisme warga Indonesia di perbatasan patut dipertanyakan. Sebab menurut laporan warga dan TNI di sana, saat kunjungan kerja Komisi I DPR, tahun lalu, banyak WNI di perbatasan yang direkrut jadi paramiliter Malaysia. "Dapur mereka ada di Malaysia, sedangkan teras rumahnya di Indonesia," kata Ali Mochtar Ngabalin dari Komisi I DPR.
Selama ini, kata Ngabalin, mereka (warga perbatasan) sangat dekat dengan warga Malaysia. Informasi-informasi yang mereka dengar, lebih banyak dari Malaysia. radio atau televisi di sana kebanyakan siaran Malaysia. Jadi bukan tidak mungkin bila warga di sana teraneksasi oleh Malaysia. Apalagi pembangunan wilayah perbatasan Malaysia relatif lebih baik. Beda dengan kondisi perbatasan di Indonesia, yang infrastrukturnya tidak dikelola dengan baik.
Namun bagi Ardianto, sekalipun banyak warga di perbatasan selalu berinteraksi dengan warga Malaysia, bukan berarti gampang dimanfaatkan pemerintah Malaysia. Apalagi, ia memberi gambaran, mayoritas di kecamatan Badau, berasal dari suku Dayak Iban. Suku ini dikenal kurang begitu suka dengan atribut-atribut keagamaan. Jadi mereka pasti alergi bila masuk ke dalam pasukan yang bernama Askar Wataniah. Sebab pasukan ini semacam petugas penjaga moral umat Islam di malaysia. Mereka bertugas merazia umat Muslim yang tidak berpuasa saat Ramadan, dan yang datang ke prostitusi.
"Pemerintah maupun politisi di pusat tidak perlu kebakaran jenggot dengan isu tersebut". Sebab, lanjut Ardianto, besar kemungkinan isu itu sengaja dilontarkan oleh mantan Perdana Menteri malaysia Abdullah Ahmad Badawi, menjelang pemilu, tahun depan. Setidaknya itulah yang ia dengar dari beberapa teman di negeri jiran itu.
Menurut bisik-bisik yang Ardianto dengar dari tanah seberang, Badawi bertujuan menjatuhkan perolehan suara Anwar Ibrahim, yang jadi rivalnya dalam pemilu mendatang. Soalnya, selama ini Anwar dikenal sebagai tokoh yang pro TKI yang ada di Malaysia.
Kemungkinan bekas Timbalan Perdana Menteri Malaysia, saat Mahatir Mohammad berkuasa, bakal banyak mendulang suara dari WNI di sana, yang jumlahnya sepertiga rakyat Malaysia. Nah, isu ini, kata Ardianto, diharapkan bisa memecah suara WNI yang sekarang jadi warga Malaysia. (ddg/iy)