Begitulah, tak ada air yang tersisa. Nyaris seperti tak pernah ada sungai besar yang dulu mengalir di situ. "Padahal, dua tahun lalu, orang-orang bisa mandi di sungai ini. Kini, jangankan untuk mandi, untuk mencuci kaki saja, tak ada lagi airnya," keluh Commucation Officer Yayasan Leuser Indonesia (YLI), Chik Rini, dalam pertemuan ekspos pemantauan Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) di Bapedalda NAD beberapa waktu lalu.
Keluhan Chik Rini cukup beralasan. Karena hampir 50 persen sungai yang ada di Aceh Barat Daya, nyaris tak ada lagi yang bisa disebut sungai. Debit air menyusut drastis.Yang tersisa hanya hamparan bebatuan. Sebut saja misalnya kondisi di Sungai Krueng Panto, Krueng Batee, Alue Pisang, Krueng Suak, Krueng Tangan-tangan, Krueng Manggeng, dan Krueng Babahrot.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Sekarang ini, dari total 16 ribu hektar lebih luas persawahan di Abdya, 9 ribu hektar sawah tak bisa diairi jika musim kering. Puncaknya pernah terjadi gagal panen padi sawah. Sekarang masyarakat lebih memilih menanam coklat," lanjutnya.
Tapi situasi akan berbalik jika hujan turun seharian. Maka sungai-sungai ini akan menjelma menjadi alur-alur sungai yang deras. Menghantarkan air banjir ke sejumlah kawasan di Aceh Barat Daya. Situasi ini sudah terjadi selama lima tahun terakhir.
Semua ini merupakan akumulasi dari gundulnya hutan akibat aksi illegal logging, ladang berpindah. Masyarakat secara tak terkendali melakukan perambahan di sejumlah bukit untuk menanam cabe dan sayur. Bukan itu saja, melonjaknya harga minyak nilam membuat warga membuka sejumlah luas lahan untuk bertanam nilam.
"Tak ada yang mampu menghalangi aksi masyarakat ini. Lahan terluas yang dirambah terdapat di Kecamatan Manggeng, Tangan-tangan, Blangpidie, Kuala Bate dan Babahrot," jelas Chik Rini lebih lanjut. Menurutnya, kondisi setali tiga uang juga terjadi di Kabupaten Aceh Selatan.
Aksi ladang berpindah dengan membuka hutan dan kemudian membakarnya, sering dapat
memusnahkan keanekaragaman hayati. Selain itu tanah dapat menjadi gundul, humus tanah di atasnya pun menjadi sangat cepat terkikis jika hujan turun.
"Keadaan ini menyebabkan terjadinya longsor di gunung dengan kemiringan di atas 40 derajat. Banjir bandang datang dengan cepat dari derah hilir," paparnya.
Di kawasan ini, kondisi diperparah dengan sejumlah aksi penambangan liar. Misalnya saja penambangan marmer di Kecamatan Labuhan Haji Barat di Desa Panton Pawoh, dan rencana
penambangan emas.
Relokasi penduduk korban gempa di Desa Ujung Mangki, Bakongan, yang dilakukan Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) NAD-Nias dengan melakukan pemadatan rawa untuk pemukiman seluas 10 hektar, juga menjadi salah satu pemicu rusaknya ekosisitem dan lingkungan.
Apalagi, kawasan ini bertetangga dengan hutan KEL. Belum lagi pertambangan Galian C yang mengakibatkan banyak tebing sungai menjadi longsor. Serta pembukaan jalan yang mengancam Taman Nasional Gunung Leuser.
"Sekarang ini, saban tahun terjadi banjir di Abdya dan Aceh Selatan. Bahkan waktunya tidak bisa diprediksi lagi. Jika ini terus terjadi, bencana alam lain akan menyusul," ungkapnya.
Selain kelaparan dan penyakit menular yang akan menimpa masyarakat, Pemda setempat juga akan mengalami kerugian yang tidak sedikit setiap banjir, karena menghancurkan insfrastruktur yang ada. (ray/nvt)