Bikin Masakan Jepang Sendiri, Tapi Favorit Tetap Lodeh

Arti Cendana Bagi Pak Harto

Bikin Masakan Jepang Sendiri, Tapi Favorit Tetap Lodeh

- detikNews
Senin, 28 Jan 2008 14:49 WIB
Jakarta - Tidak banyak yang tahu, almarhum Pak Harto ternyata gemar masuk dapur Cendana. Di sela tugasnya sewaktu masih menjadi presiden, dia sering meluangkan waktu mencoba resep masakan, khususnya masakan Jepang yang jadi kesukaannya.

Meski gemar menyantap masakan dari Negeri Sakura, masakan favorit Pak Harto bukan sukiyaki, shabu-shabu atau teriyaki. Makanan kegemarannya yang berada di nomor urut satu adalah sayur lodeh buatan Ibu Tien.

Di rumah Jalan Cendana No.8, Menteng, Jakarta Pusat, dia tidak hanya sering masuk dapur. Pak Harto juga biasa kumpul-kumpul dengan anak cucunya sambil memutar film kegemaran mereka di halaman belakang.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Soal ini dituangkannya dalam buku "Soeharto: Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya", khususnya di bab 30 yang berjudul "Renungan di Tengah Keluarga". Berikut kutipan halaman 233-234:

Kadang-kadang ada keramaian di rumah kami. Tapi terhitung sederhana saja. Misalnya, kalau merayakan hari ulang tahun seseorang di antara keluarga, melangsungkan upacara pitonan (turun tanah) cucu kami, atau upacara selapanan (tiga puluh hari lahirnya dan memberi nama) cucu kami, atau meramaikan hari ulang tahun perkawinan kami sendiri.

Pada kejadian kekeluargaan seperti ini muncul "akar" kami. Seperti pada waktu kami memperingati hari tumbuk warsa atau temu windu istri saya belum lama ini, yang dihadiri oleh kerabat dekat kami.

Pada kesempatan itu saya memberi pengertian terinci mengenai tahun Jawa. Menurut perhitungan kalender Jawa, nama hari hanya lima yang sering disebut pula sebagai pasaran, setahun 12 bulan, dan nama tahun hanya sampai delapan yang tercakup dalam sewindu.

Setiap sewindu, hari pasaran, tanggal dan bulan serta tahun dengan nama yang sama akan bertemu. Itulah yang disebut tumbuk warsa. Dan hari Rabu Kliwon, bulan Suro, tahun Je, yang jatuh pada Selasa malam tanggal 24 September 1985 itu untuk kedelapan kalinya istri saya memperingati hari lahir dengan nama hari pasaran, tanggal dan bulan serta tahun yang sama. Dalam kalender Jawa, hari dimulai pukul 18.00, bukan pukul 00.00.

Waktu merayakan tumbuk warsa istri saya itu saya mengenakan surjan gaya Yogya, warna hijau. Istri saya juga mengenakan kebaya warna kehijau-hijauan.

Tumbuk warsa 8 windu itu terjadi hanya satu kali seumur hidup kita masing-masing. Bahkan tumbuk delapan windu itu juga disebut tumbuk besar. Itu penting artinya bagi perjalanan hidup manusia. Karena itu harus diperingati.

Pemotongan tumpeng diadakan. Kami membaca "Al Fatihah", dan kemudian menyanyikan "Panen Bromo", nyanyian tradisional  Jawa yang berisikan puji bagi keselamatan orang yang merayakannya.

*

Pada hari libur kadang-kadang saya pergi ke laut, kalau tidak ke Tapos. Kadang-kadang saya memasak di dapur, mencoba kepandaian saya dalam memilih jenis masakan dan memasaknya sendiri.

Bukan satu rahasia, saya diam-diam belajar membuat masakan Jepang yang kami gemari. Tapi hidangan yang paling saya sukai adalah tetap lodeh buatan istri saya sendiri, atau ikan bakar, atau goreng belut yang membawa kenangan di masa kanak-kanak.

Saya tidak menyukai minuman keras. Tetapi pertemuan dengan tamu-tamu asing menyebabkan saya harus melakukan hal yang tidak saya sukai itu, semata karena memenuhi kebiasaan protokoler dan anggapan tidak pantas kalau saya menolaknya.

Malam Minggu sering kami memutar film di halaman belakang rumah. Pada kesempatan ini hadir anggota-anggota keluarga, besar kecil. Jadi bisa dipahami, film apa yang kami putar.

(umi/nrl)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads