Dari RSPP, tempat selama 24 hari dia dirawat, putra-putrinya memutuskan membawa jenazah ke Cendana, tidak langsung ke Solo.
Keputusan itu tentu bukan tanpa alasan. Mereka mengerti benar kecintaan Pak Harto akan Cendana.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pak Harto menggambarkan betapa rumah di Jalan Cendana nomor 8 itu mampu membuatnya 'hidup' lagi. Di situlah ia mendidik dan membesarkan anak-anaknya, menanamkan falsafah kepada anak dan cucunya.
Segala perasaannya itu, ia tuangkan sebanyak 9 halaman (229-237) di bab 30 tentang "Renungan di Tengah Keluarga. Berikut kutipannya:
Saya memilih tinggal di Jalan Cendana No.8, di daerah Menteng dan tidak pindah ke Istana Merdeka. Saya mengambil keputusan ini bukan karena tidak mau, melainkan demi kepentingan dan kebaikan keluarga. Untuk kepentingan anak-anak, agar tidak terpisahkan dari masyarakat, saya memilih tinggal di luar Istana. Dalam pada itu saya sadar, sesuai dengan kedudukan saya, meski saya tinggal di rumah ini kebebasan kami tetap terbatas. Tetapi, pergaulan anak-anak saya tentu masih lebih bebas daripada kalau mereka tinggal di Istana.
Saya mengasuh keluarga, anak dan istri saya. Seorang istri pendamping dan pembantu saya yang terdekat, paling setia, dan tidak ada yang lain. Hanya ada satu Nyonya Soeharto, dan tidak ada lagi yang lainnya. Jika ada, akan timbul pemberontakan yang terbuka di dalam rumah tangga Soeharto.
Sebagai seseorang yang percaya kepada Tuhan, saya berpendirian, orangtua itu memikul suatu amanat Tuhan untuk menjadi perantara dalam melahirkan manusia-manusia yang diciptakan Tuhan. Orangtua bertanggung jawab untuk membesarkan anak-anaknya. Untuk mendidik mereka sedemikian rupa sehingga mereka juga menjadi orang-orang yang takwa, yang beriman kepada Tuhan. Pengertian saya, takwa, iman kepada Tuhan adalah selalu berbuat baik. Baik untuk dirinya sendiri, untuk keluarga maupun untuk sesamanya.
Saya membekali keluarga saya dengan budi pekerti. Lantas dengan kepandaian. Saya lebih mementingkan hal itu daripada membekali mereka dengan harta benda.
Tidak ada di antara anak-anak saya yang saya uja, yang saya manjakan. Tidak ada! Dan alhamdulillah, sampai sekarang tidak ada yang neka-neka dan sebagainya. Apalagi terpengaruh oleh kejahatan atau oleh narkotika. Alhamdulillah, tidak ada. Justru mereka andhap asor, tidak merasa atau menampatkan diri sebagai anak Presiden. Justru mereka merendahkan diri. Bahkan saya lihat mereka merasa berat menjadi anak Presiden. Mereka selalu berusaha untuk tampil dengan baik.
Tidak salah pikiran mereka. Menjadi Presiden 'kan hanya untuk sementara, untuk jangka waktu lima tahun. Yang lama itu bukan sebagai Presiden. Jadi, patut mereka harus hidup dengan secara kerakyatan, menghadapi kenyataan. Alhamdulillah, anak-anak saya bisa menyesuaikan diri.
Kepada keluarga saya, saya ajarkan apa yang telah diajarkan oleh orangtua saya kepada saya. Pegangan hidup saya, "Aja kagetan, aja gumunan, aja dumeh" saya sampaikan kepada mereka.
Ya, memang atas dasar itu saya menghadapi segala sesuatu: yang baik dan yang tidak baik, penderitaan dan kesenangan. Kalau segala itu kita kembalikan kepada Tuhan, sebenarnya segala itu pun adalah biasa.
Pandangan hidup saya berdasarkan kepada percaya kepada Tuhan kepada kekuasaan-Nya. Dengan begitu, maka dengan sendirinya saya percaya, bahwa apa pun yang dikehendaki Tuhan, pasti bisa terjadi.
Sebab itu, saya percaya kepada takdir manusia yang telah digariskan oleh Tuhan. Segala sesuatu yang memang sudah dikehendaki oleh Tuhan, terhadap manusia, dan terhadap segala isi alam semesta ini, tinggal pasrah saja. Tidaklah perlu kita kaget.
Sesuatu yang seolah-olah merupakan keistimewaan pada seseorang tidaklah perlu pula menyebabkan kita heran. Tidaklah perlu kita terbelalak dibuatnya sampai mengucapkan "wah hebat sekali." Kembalikanlah hal itu kepada Tuhan dan kita 'aja gumunan' (jangan heran).
Kalau kita mempunyai kedudukan, kekayaan, mempunyai sesuatu yang lebih, janganlah lupa, bahwa sewaktu-waktu hal itu bisa berubah, kalau Tuhan menghendakinya. Sebab itu 'aja dumeh' (jangan mentang-mentang) kedudukan tinggi, terus bertindak sewenang-wenang, 'aja dumeh' mempunyai kekayaan yang berlimpah-limpah, lalu lupa daratan.
Kalau saya mengenang penderitaan sewaktu kecil, sewaktu muda, saya akan bisa sedih dibuatnya. Tetapi kalau diambil manfaatnya, justru karena penderitaan saya sejak kecil itulah maka saya menjadi orang. Maka saya menjadi seseorang yang berpikir, yang mempunyai perasaan karena pernah menderita.
Memang, saya selalu ingat pada pengalaman dan kesusahan saya pada masa kecil, dan sebab itu saya menekankan pentingnya 'tepa selira' (hendaknya meraba pada diri sendiri). Sepantasnya rasa 'tepa selira' saya besar, disebabkan oleh penderitaan saya yang begitu besar.
Dengan sendirinya saya bisa merasakan betapa penderitaan orang lain. Dengan sendirinya saya bisa mengukurnya. Sebab itu pula timbul perasaan dan keinginan yang besar pada saya, supaya orang lain jangan sampai menderita. Sebab itu pulalah keinginan saya besar untuk menolong mereka yang terkepung oleh penderitaan. Begitulah saya bersikap sewaktu menjadi panglima, begitupula sewaktu menjadi komandan terhadap anak buah. Begitu juga sampai menjadi presiden. Selalu saya usahakan sejauh mungkin, agar rakyat tidak menderita, setahap demi setahap.
Orang menderita itu tidak enak. Saya sendiri telah merasakannya.
Begitulah ajaran yang saya tempakan kepada anak-anak saya, dan sekarang kepada cucu-cucu saya, di tengah suasana kekeluargaan, di rumah di Jalan Cendana. (halaman 229-231).
(umi/nrl)