Menariknya, kedua presiden itu juga sempat terlihat silang pendapat dengan orang-orang kepercayaannya menjelang lengser.
Bung Karno dengan Soeharto yang menilai bawahannya itu tidak patuh dan berbeda pandangan. Sampai-sampai Bung Karno bertanya kepada Soeharto , dia akan diapakan. Sedangkan Soeharto dengan Habibie yang saat itu juga berbeda pendapat dengannya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Percakapan itu tertuang dalam bab 22 yang berjudul 'Mikul Dhuwur Mendhem Jero'. Kutipannya sebagai berikut:
...
Di saat demonstrasi mahasiswa mewarnai suasana Jakarta, di Istana Merdeka saya mengadakan dialog dengan Bung Karno. Itu menyambung pembicaraan mengenai situasi dan mengenai PKI. Saya berkeyakinan bahwa pikiran Bung Karno mengenai jalan keluar kurang tepat. Saya terus berusaha supaya beliau mengerti dan menyadari perubahan yang telah terjadi. Sampai akhirnya rupanya beliau bertanya-tanya, mengapa saya tidak patuh kepadanya.
Sewaktu kami berdua, Bung Karno bertanya dalam bahasa Jawa, di tengah-tengah suasana Jakarta, "Harto, jane aku iki arep kok apakake?" (Harto, sebenarnya aku ini akan kamu apakan?) Aku ini pemimpinmu."
Saya memberikan jawaban dengan satu ungkapan yang khas berakar pada latar belakang kehidupan saya.
"Bapak Presiden," jawab saya, "Saya ini anak petani miskin. Tetapi ayah saya setiap kali mengingatkan saya untuk selalu menghormati orang tua. Saya selalu diingatkannya agar dapat mikul dhuwur mendhem jero (memikul setinggi-tingginya, memendam sedalam-dalamnya; menghormat) terhadap orang tua."
Dengan jawaban itu saya bermaksud dan bertujuan seperti kudangan ayah saya kepada saya. Orang tua saya, sekalipun petani, orang kecil, orang yang tidak mendapatkan pendidikan formal, mempunyai kudangan terhadap anaknya, mempunyai cita-cita mengenai anaknya, yakni agar saya ini menjadi anak yang bisa mikul dhuwur mendhem jero pada orang tua. Saya pun mempunyai keyakinan bahwa pegangan hidup seperti itu adalah benar, dan tepat sekali.
Mikul dhuwur, artinya kita harus menghormati orang tua dan menjunjung tinggi nama baik orang tua.
Mendhem jero, artinya segala kekurangan orang tua itu tidak perlu ditonjol-tonjolkan. Apalagi ditiru! Kekurangan itu harus kita kubur sedalam-dalamnya, supaya tidak kelihatan.
Dalam pada itu, nama baik orang tua itu harus kita junjung setinggi-tingginya sehingga terpandang keharumannya.
"Bagus," jawab Bung Karno.
"Bapak tetap saya hormati seperti saya menghormati orang tua saya. Bagi saya, Bapak tidak hanya memimpin bangsa, tetapi saya anggap orang tua saya. Saya ingin mikul dhuwur terhadap Bapak. Sayang, yang mau di-pikul dhuwur mendhem jero tidak mau," kata saya. Saya yakin, Bung Karno paham benar akan ungkapan yang saya kemukakan itu.
Sebentar Bung Karno menarik muka serius seperti semula.
"Betul begitu, Harto?" tanyanya kemudian.
"Betul, Pak, Insya Allah. Soalnya bergantung pada Bapak."
"Nah, kalau betul kau masih menghormati aku dan menghargai kepemimpinanku, kuperintahkan kau menghentikan demonstrasi-demonstrasi mahasiswa itu. Aksi-aksi mereka sudah keterlaluan. Tidak sopan! Liar! Mereka sudah tidak sopan dan tidak hormat kepada orang tua. Mereka tidak bisa dibiarkan, Harto. Kau kuminta mengambil tindakan tindakan terhadap mereka."
"Maaf, Pak. Saya pikir, masalah ini berkenaan dengan pembenahan negara kita secara keseluruhan. Yang saya maksud, penyelesaian politik mengenai Gestapu/PKI seperti yang Bapak janjikan. Kalau sekarang Bapak Presiden mengumumkan secara resmi bahwa PKI dibubarkan dan dilarang, saya percaya mahasiswa itu akan menghentikan aksi-aksinya. Karena saya juga dituntut oleh mereka."
"Penyelesaian politik Gestapu, Gestok, PKI lagi yang kau sebut, Harto. Kamu tadi mengatakan, tetap menghormati kepemimpinanku."
"Tidak pernah goyah, Pak."
"Kalau begitu, laksanakan perintahku," kata Bung Karno.
Saya tidak menjawab. Bung Karno juga terdiam.
Kemudian berulangkali saya renungkan adegan ini.
"Jane aku iki arep kok apakake?"
Saya artikan itu, beliau belum bisa menangkap sikap saya. Kata-kata saya yang terus menerus saya sampaikan kepada beliau, yang selalu berbeda dengan pendiriannya, belum bisa saja beliau tangkap. Atau bisa beliau tangkap, tetapi belum beliau yakini benar-benar.
Beliau mempunyai satu pendirian, saya mempunyai pendirian lain. Tetapi saya tidak menentang begitu saja. Namun juga tidak patuh begitu saja. Saya sebagai bawahan sebenarnya harus taat. Apa yang diperintahkannya seharusnya saya patuhi. Tetapi saya sebagai pejuang tidak mungkin patuh begitu saja.
Ya, saya jawab pertanyaan Bung Karno itu, "Saya akan mikul dhuwur mendhem jero."
Dilihat dari segi agama maupun kebatinan, pegangan "mikul dhuwur mendhem jero" itu merupakan realisasi daripada iman, daripada percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Apa wujud iman yang digambarkan di sini? Mengakui kenyataan bahwa orang tua merupakan perantara daripada lahirnya manusia. Tuhan menciptakan manusia melalui orang tua, yaitu ayah dan ibu. Oleh karena itu, orang yang beriman, yang percaya kepada Tuhan, wajib menghormati orang tua. Kepada orang tua itulah yang menjadi perantara kita sampai lahir di dunia ini dan mengasuh kita sampai betul-betul kita bisa hidup sendiri sebagai orang dewasa.
Begitu juga sikap kita kepada guru. Guru menjadi perantara kita sehingga kita mengetahui sesuatu, saya tidak bisa membaca sampai bisa membaca, dari tidak bisa menghitung sampai bisa menghitung. Begitu juga halnya sampai kita bisa menulis.
Oleh karena itu, kita wujudkan taqwa kepada Tuhan itu berdasarkan iman, antara lain dengan menghormati orang tua dan guru kita.
Filsafat itu merupakan pegangan ayah saya. Beliau mengajarkan begitu juga kepada saya, agar saya menjadi orang yang hormat dan patuh kepada orang tua dan guru.
Namun ternyata saya tidak patuh secara begitu saja. Sebab, kalau saya menurut kehendak beliau, berarti saya berbuat salah.
Dalam pada itu, terhadap beliau saya tetap bersikap sebagai anak kepada bapak. Tetap tenang dan sabar bila menghadapi beliau sedang marah. Saya selalu ingat falsafah "Sura dira jayaningrat lebur dening pangastuti".
(umi/sss)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini