Habibie menjawab diplomatis. "Anda bisa temukan jawabannya di buku saya," ujar Habibie.
Yang dimaksud buku tersebut adalah otobiografinya berjudul Detik-detik yang Menentukan, terbitan 2007.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Di halaman 41, Habibie menyatakan kekecawaannya karena tidak bisa berkomunikasi dengan Soeharto pada 20 Mei 1998 malam, untuk melaporkan suatu hal penting. Habibie menulis:
"Namun, sangat saya sayangkan bahwa Pak Harto ketika itu tidak berkenan berbicara dengan saya. Ia hanya menugaskan Menteri Sekretaris Negara Saadilah Mursyid untuk menyampaikan keputusan bahwa esok harinya pukul 10.00 pagi, Pak Harto akan mundur sebagai Presiden. Sesuai UUD '45, Pak Harto menyerahkan kekuasaan dan tanggung jawab kepada Wakil Presiden RI di Istana Merdeka. Pengambilan sumpah Wakil Presiden menjadi Presiden akan dilaksanakan oleh Ketua Mahkamah Agung di hadapan para anggota Mahkamah Agung lainnya.
Saya sangat terkejut dan meminta agar segera dapat berbicara dengan Pak Harto. Permintaan tersebut tidak dapat dikabulkan, dan ajudan Presiden menyatakan akan diusahakan pertemuan empat mata dengan Pak Harto di Cendana besok pagi sebelum ke Istana Merdeka."
Namun esok harinya, 21 Mei 1998, pertemuan empat mata di Cendana itu tidak pernah terjadi. "Tetapi, kemudian saya mendapat berita bahwa Pak Harto ternyata belum bersedia menerima saya, dan saya dipersilakan langsung saja ke Istana Merdeka," tulis Habibie di halaman 62.
Di Istana Merdeka, Habibie juga berusaha bertemu dengan Soeharto, namun gagal.
"Tiba-tiba, Protokol dan ADC Presiden mempersilakan Ketua dan para anggota Mahkamah Agung masuk ke Ruang Jepara. Saya langsung berdiri dan menyampaikan bahwa saya dijanjikan untuk dapat bertemu dengan Presiden Soeharto. Langsung ADC Presiden kembali ke Ruang Jepara dan hanya sekejap kemudian, ADC kembali hanya mempersilakan Ketua bersama para anggota Mahkamah Agung masuk ke ruang Jepara di mana Pak Harto berada.
Saya merasakan diperlakukan "tidak wajar" dan menahan diri untuk tetap sabar dan tenang. Saya membaca beberapa ayat Alquran yang saya hafal. Setelah beberapa waktu berlalu, Ketua dan anggota Mahkamah Agung keluar dari ruang Jepara untuk bertemu dengan Pak Harto.
Perasaan saya makin penuh dengan kekecewaan, ketidakadilan, dan "penghinaan", sehingga saya kemudian memberanikan diri untuk berdiri dan melangkah ke Ruang Jepara ingin bertemu langsung dengan Presiden Soeharto.
Namun, baru saja saya berada di depan pintu Ruang Jepara, tiba-tiba pintu terbuka dan protokol mengumumkan bahwa Presiden Republik Indonesia memasuki ruang upacara. Saya tercengang melihat Pak Harto, melewati saya terus melangkah ke ruang upacara dan "melecehkan" keberadaan saya di depan semua yang hadir.
Betapa sedih dan perih perasaan saya ketika itu. Saya melangkah ke ruang upacara mendampingi Presiden Soeharto, manusia yang saya sangat hormati, cintai, dan kagumi yang ternyata menganggap saya seperti tidak ada. Saya melangkah sambil memanjatkan doa dan memohon agar Allah SWT memberi kekuatan, kesabaran, dan petunjuk untuk mengambil jalan yang benar." (halaman 64-65).
Setelah itu, Pak Harto berpidato menyatakan mundur disertai alasannya. "Untuk pertama kalinya saya mendengar, alasan Pak Harto mengundurkan diri sebagai Presiden RI," tulis Habibie di halaman 66.
"Semuanya berlangsung cepat dan lancar. Pak Harto memberi salam kepada semua yang hadir termasuk saya. Tanpa senyum maupun sepatah kata, dia meninggalkan ruang upacara," kenang Habibie di halaman 67. (nrl/umi)