Pak Harto yang saat ini terbaring kritis di Rumah Sakit Pusat Pertamina (RSPP) sejak dua pekan lalu, telah jauh-jauh hari menjelaskan soal Bung Karno. Apalagi selama ini banyak publik yang melihat Bung Karno tidak mendapat penghargaan yang semestinya dari pemerintah saat itu.
Penjelasan Pak Harto mengenai Bung Karno ini tertuang dalam buku Otobiografi 'Soeharto, Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya' yang ditulis G Dwipayana dan Ramadhan KH. Pak Harto bercerita mengenai Bung Karno dari halaman 244 hingga 249. Pak Harto terkesan telah menghargai Bung Karno dalam setiap keputusannya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sejak Oktober 1965 sampai 11 Maret 1966, lebih dari sepuluh kali saya bertemu dengan Presiden Soekarno. Di antaranya ada yang disaksikan oleh yang lain, tetapi selebihnya terjadi pertemuan empat mata. Saya sempat menganjurkan agar Bung Karno membubarkan PKI. Tetapi waktu itu Bung Karno menjawab, "Kalau PKI dibubarkan, akan hilang muka saat sebagai pemimpin dunia." Dalam pada itu saya memandang lebih penting keutuhan nasional ketimbang kepentingan internasional.
Sejak awal 1968, Bung Karno berada dalam 'karantina politik' dan tinggal di paviliun Istana Bogor. Kemudian beliau minta pindah dan kami setuju ke peristirahatan 'Hing Puri Bima Sakti' yang terletak di Batutulis Bogor. Kepindahannya itu rupanya didorong oleh keinginan untuk memperoleh lingkungan hidup yang lebih segar. Tetapi lalu beliau menulis surat kepada saya yang dibawa oleh Rachmawati Soekarno, agar diizinkan pindah ke Jakarta.
Rachmawati datang di rumah kami di Jalan Cendana. Istri saya yang mula-mula menerimanya. Lalu dibawa kepada saya. Sambil menyampaikan surat dari Bung Karno itu, Rachmawati menceritakan keadaan kesehatan ayahnya. Saya dengarkan kabar itu dengan penuh perhatian.
Rupanya keadaan kesehatannya yang menyebabkan beliau ingin pindah ke Jakarta. Udara di Bogor mungkin tidak baik baginya.
Maka saya janjikan kepada Rachmawati untuk berusaha mengatur kepindahan Bung Karno. Mendengar ucapan saya begitu, Rachma menunjukkan keterharuannya, matanya kelihatan berlinang. Memang saya menaruh perhatian dan simpati kepada Proklamator kita itu. Tetapi suasana politik memagarinya. Dan terutama kekerasan hatinya saja yang menyebabkan segala ini.
Maka pindahlah Bung Karno pada permulaan 1969 ke Wisma Yaso di Jl. Gatot Subroto, yang sekarang jadi Museum Satria Mandala.
Saya perintahkan team dokter di bawah ketuanya, Prof Dr Mahar Mardjono, menjaganya.
Benar, semasa itu Bung Karno diminta keterangan untuk keperluan Kopkamtib. Tetapi saya saya ketahui bahwa sakitnya cukup serius, saya perintahkan untuk berhenti dengan pemeriksaan itu.
Waktu putrinya, Sukmawati, melangsungkan pernikahannya di rumah Ibu Fatmawati di Kebayoran Baru, beliau diperkenankan untuk pergi ke sana. Kesehatan beliau di bulan Februari 1970 itu kelihatan sekali menurun.
Tanggal 16 Juni 1970 saya terima kabar bahwa penyakit beliau tampak parah. Saya perintahkan kepada dokter-dokter untuk menjaganya baik-baik dan jika perlu membawanya ke Rumah Sakit Gatot Subroto.
Hari itu juga Bung Karno diangkut ke RSPAD Gatot Subroto dan mendapat perawatan intensif. (bersambung)
(asy/nrl)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini