Obrolan Terakhir Soeharto - Habibie

Obrolan Terakhir Soeharto - Habibie

- detikNews
Kamis, 17 Jan 2008 12:17 WIB
Jakarta - BJ Habibie sengaja terbang jauh-jauh dari Jerman demi menjenguk seniornya, Pak Harto, di RSPP. Tapi apa lacur, selain hanya bisa melihat Pak Harto dari luar ruang, tak ada anak-anak Soeharto yang menemuinya.

Kehadiran Habibie di RSPP adalah penggalan sejarah baru, meneruskan sejarah 20 Mei 1998, hari terakhir Pak Harto dan Habibie terlibat dialog cukup panjang. Sebab setelah itu, komunikasi keduanya berakhir.

Pada 21 Mei 1998, saat detik-detik penyerahan kekuasaan Pak Harto ke Habibie, Pak Harto juga memilih hanya menyalaminya saja. Tak ada senyum, tak ada kata.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Pada 8 Juni 1998, Pak Harto berulang tahun di Cendana. Habibie, yang dikenalnya dekat sedari 1950, tak diundangnya. Pada 9 Juni 1998, Habibie menelepon Pak Harto guna mengucapkan selamat ulang tahun, namun Pak Harto memintanya agar tidak usah menghubunginya lagi.

Percakapan sedikit panjang terakhir antara Habibie dan Soeharto 20 Mei 1998 bisa dibaca lewat buku BJ Habibie yang bertajuk Detik-detik yang Menentukan: Jalan Panjang Indonesia Menuju Demokrasi. Inilah petikannya:

Rabu 20 Mei 1998 malam hari, lokasi di ruang kerja Pak Harto di Jl Cendana:

.............

Setelah pertemuan Pak Sudharmono dengan Pak Harto selesai, saya dipersilakan masuk ke ruang kerja presiden. Sambil membuka sehelai kertas besar yang berisi nama-nama anggota Kabinet Reformasi, Pak Harto menyatakan agar saya bersama beliau mengecek ulang nama-nama tersebut.

Kesempatan itu saya manfaatkan unuk mengusulkan beberapa perubahan. Karena ada perbedaan pandangan menyangkut beberapa nama, maka terjadilah perdebatan yang cukup hangat. Saya menyadari bahwa Pak Harto mempunyai alasan tersendiri yang sudah dia pertimbangkan. Sebaliknya, saya juga memiliki alasan yang rasional dan sesuai aspirasi masyarakat yang berkembang. Akhirnya karena tidak ada titik temu, maka saya persilakan Pak Harto memutuskan apa yang terbaik, karena penyusunan anggota kabinet adalah hak prerogratif presiden. Akhirnya Kabinet Reformasi terbentuk.

Tidak beberapa lama kemudian, Pak Harto memanggil Mensesneg Saadillah Mursyid, untuk segera membuat Keputusan Presiden mengenai Susunan Kabinet Reformasi yang baru saja dibentuk.

Menurut rencana, esok harinya, hari Kamis tanggal 21 Mei 1998 di Istana Merdeka, Presiden didampingi oleh Wakil Presiden akan mengumumkan susunan Kabinet Reformasi. Selanjutnya pada hari Jumat tanggal 22 Mei 1998, para anggota Kabinet Reformasi akan dilantik Presiden Soeharto yang didampingi pula oleh Wakil Presiden. Semuanya agar dipersiapkan sesuai prosedur yang berlaku, demikian instruksi Presiden.

Saadilah Mursyid meninggalkan ruang kerja itu, sementara saya dan Pak Harto masih berada di ruangan tersebut meneruskan pembicaraan.

Setelah mempersilakan saya meminum teh, Pak Harto menyampaikan bahwa pada hari Sabtu tanggal 23 Mei 1998, ia bermasud mengundang Pimpinan DPR/MPR untuk datang ke Istana Merdeka. Pernyataan Pak Harto tersebut saya sambut dengan menyampaikan bahwa pertemuan itu langsung dapat memberi pendapat dan penilaian mengenai kehendak rakyat. Begitu pula mengenai keadaan di lapangan yang sedang berkembang dan berubah tiap detik.

Pak Harto tampaknya sama sekali tidak memerhatikan ucapan saya dan mengatakan, bahwa ia bermaksud menyampaikan kepada Pimpinan DPR/PR untuk mengundurkan diri sebagai Presiden setelah Kabinet Reformasi dilantik.

Namun yang menjadi pertanyaan saya saat itu adalah, Pak Harto sama sekali tidak menyampaikan alasan mengapa beliau mundur, padahal baru saja disusun Kabinet Reformasi, bahkan setelah melalui dialog yang cukup seru. Demikian pula Pak Harto sama sekali tidak meninggung mengenai kedudukan Wakil Presiden selanjutnya.

Menyadari cara berfikir Pak Harto yang telah saya kenal puluhan tahun, tidak disebutnya kedudukan Wakil Presiden tersebut jelas mempunyai alasan tertentu. Apa yang sebenarnya dikehendaki Pak Harto tentang saya? Apakah saya juga diminta ikut mudur? Pertanyaan ini muncul karena pernyataan Pak Harto sehari sebelumnya di hadapan sejumlah tokoh masyarakat seolah "meragukan" kemampuan saya. Demikian sejumlah pertanyaan berkecamuk di benak saya.

Saya tahu persis Pak Harto sangat menyadari, bahwa Presiden dan Wakil Presiden tidak dipilih sebagai satu paket. Sebagaimana UUD '45 menyatakan bahwa jikalau Presiden berhalangan melaksanakan tugasnya, maka Wakil Presiden berkewajiban untuk melanjutkan.

Keinginan Pak Harto, untuk lengser dan mandito atau mundur sebagai Presiden, menjadi seorang negarawan sangat saya pahami dan hormati. Namun apakah dnegan cara demikian pelaksanaannya?

Beberapa saat saya diam, dengan harapan mendapat penjelasan mengenai alasan beliau mundur, serta beberapa pertanyaan yang mengganggu pikiran tersebut. Namun ternyata tidak diberikan. Walaupun saya sangat memahami Ketetapan MPR mengenai kedudukan dan kewajiban presiden dan wakil presiden, saya terpaksa bertanya,"Pak Harto, kedudukan saya sebagai Wakil Presiden bagaimana?"

Pak Harto spontan menjawab, "Terserah nanti. Bisa hari Sabtu, hari Senin, atau sebulan kemudian, Habibie akan melanjutkan tugas sebagai Presiden."

Jawaban Pak Harto sungguh di luar dugaan saya. Segera muncul dalam pikiran saya, bukankah kevakuman dalam pimpinan negara dan bangsa tidak boleh terjadi? Jikalau demikian yang dikehendaki Pak Harto, tidakkah hal itu tidak sesuai dengan UUD '45 dan Ketetapan MPR?

Bagaimana kedudukan saya, sebagai Koordinaor Harian Keluarga Besar Golkar tanpa pengganti? Begitulah, dalam suasana pertemuan yang "tidak lazim", serta suasana di lapangan yang tidak menentu dan cukup mengkhawatirkan, muncul berbagai pertanyaan yang amat mengganggu pikiran saya.

Untuk mengakhiri suasana pembicaraan yang tidak mengenakkan tersebut, maka saya mengalihkan pembicaraan dengan mengajukan pertanyaan, "Apakah Pak Haro sudah menerima surat pernyataan dari Menko Ekuin Ginandjar Kartasasmita dan empat belas menteri di bawah koordinasi Menko Ekuin?"

Pak Harto menyampaikan bahwa ia sudah dengar dari Tutut, tetapi belum membaca suratnya. Kemudian Pak Harto mengulurkan tangannya untuk saya jabat, sebagai isyarat bahwa dia menghendaki diakhirinya pertemuan tersebut.

Pak Harto memeluk saya, dan mengatakan agar saya sabar dan melaksanakan tugas sebaik-baiknya. Pak Harto juga meminta agar saya menyelesaikan masalah Giandjar dan kawan-kawan dengan baik.

Saya mengatakan,"Akan saya usahakan dan semuanya ini tidak tepat dan tidak perlu terjadi." Pak Harto mengatakan, "Laksanakan tugasmu dan waktu tidak banyak lagi."

Saya segera meninggalkan ruang kerja Pak Harto dengan perasaan yang tidak menentu dan pikiran yang dipenuhi tanda tanya. (Halaman 35-38).

Setelah obrolan panjang itu, keinginan Habibie untuk berbicara dengan Soeharto tak pernah kesampaian. (nrl/umi)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads