Tiga puluh dua tahun mengendalikan negeri ini bukanlah waktu yang pendek. Itu hampir sama dengan separoh dari usia rata-rata orang Indonesia. Dalam masa itu, Pak Harto dengan mengadopsi gaya politik Sultan Agung, raja Mataram ketiga, mampu meredam berbagai persoalan yang dianggap 'kerikil' bagi pemerintahannya. Gaya itu yang sering diidentifikasi sebagai pola militerisme atau otokrasi di jaman Orde Baru. Β
Masa Pak Harto, presiden Amerika Serikat Bill Clinton sempat bertamu ke Indonesia. Dari sisi gengsi negeri, kedatangan presiden Amerika itu amat prestisius. Namun jika saat pulang sang presiden mengantongi kesepakatan Indonesia menandatangani klausul perdagangan bebas dunia, maka itu dinilai sebagai bentuk 'penjajahan baru' yang merugikan bangsa ini. Sebab, di berbagai daerah, terutama NTB, NTT, Maluku, dan Papua, rakyat buta huruf masihlah tinggi kuantitasnya.
Kolusi, korupsi, dan nepotisme dianggap budaya Orde Baru. Menjamah lapisan bawah sekelas Rukun Tetangga (RT) sampai lapis teratas. Dan karena itu beberapa pakar mensinyalir, hutang yang ditimba dari luar tak lebih dari 40 persen yang benar-benar digunakan untuk pembangunan. Kendati tak dipungkiri, 'uang haram' itu mampu menggenjot sektor riil. Banyak warga yang royal dari 'uang ceperan' untuk hura-hura di tempat hiburan, lokalisasi pelacuran, perjudian, shooping, dan tentu, transportasi.
Tapi perlu juga diingat, di jaman Orde Baru, infrastruktur tumbuh berkembang. Sektor perumahan untuk kelas bawah bak jamur di musim hujan. Pertanian dan irigasinya mendapat perhatian, distribusi minyak lancar, dan jarang terdengar rakyat antri beras, antri minyak tanah, serta berita tentang nasi aking jadi menu utama.
Dalam sektor kesehatan, Posyandu (Pos Pelayanan Terpadu) menjamur di desa-desa, disusul pendidikan dengan program sekolah Inpres, Prona untuk memberi kepastian hukum soal tanah, dan perhatian terhadap koperasi sebagai soko guru perekonomian Indonesia.
Namun jika berbagai perilaku (kinerja) Orde Baru itu ditimbang-timbang, ibarat gelas berisi air, memang lebih sedikit airnya ketimbang yang kosong isi udara. Tapi sekecil apapun itu, jika kita positif thinking, Orde Baru yang dijalankan Pak Harto juga bukan tanpa manfaat bagi bangsa ini. Dan kalau kita permisif, itu adalah sebuah proses, anasir dari sejarah tiap bangsa, termasuk Indonesia.
Memang penyimpangan mempunyai konsekuensi hukum. Itu kalau dikuak, biarlah berjalan sesuai mekanismenya. Tapi dari sisi kemanusiaan, ketika Pak Harto sedang bergulat dengan penyakit di usianya yang senja, rasanya sangat masuk akal jika kita menghormat sejenak terhadap berbagai prestasi yang pernah beliau ukir untuk bangsa dan negara ini.
Bagi orang Jawa, menghargai yang tua dan seseorang yang tinggal menunggu ajal tiba atau sudah tiba, disebut 'mikul duwur mendem jero'. Mengangkat setinggi-tingginya, dan menanam sedalam-dalamnya. Artinya, memuji kebaikannya dengan 'sadar' melupakan kejelekannya, dan memberi penghormatan terakhir dengan menggali tanah kubur sedalam mungkin.
Adakah kita punya kebesaran jiwa untuk melakukan itu? Jawabnya terletak pada masing-masing individu. (Djok/iy)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini