Tampaknya Soeharto merasa bahwa dia menjadi 'perwakilan' peribahasa itu. Dia seakan ingin berteriak bahwa orang-orang yang dulu mengelu-elukannya kini membuangnya begitu saja. Suara keras pada eks pendukungnya dan tekanan hukum terhadapnya, merupakan bentuk 'sepah dibuang'.
Dan bisa jadi karena itulah Pak Harto terkesan pada buku berjudul "Pak Harto Habis Manis Sepah Dibuang". Sesuai judulnya, buku karya Dewi Ambar Sari-Lazuardi Adi Sage ini berisi keberpihakan pada Pak Harto.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Orang-orang yang dulu dekat, setia dan selalu mengelu-elukan, ternyata kini berbalik badan dan bersembunyi. Pak Harto tinggal sendirian. Menjadi seorang 'pelanggan' rumah sakit yang setia, karena termasuk paling sering keluar RSPP." Demikian bagian lain buku 220 halaman itu.
Bisa jadi karena dianggap mewakili nasibnya, pada ulang tahunnya ke-86 pada 8 Juni 2007 lalu, Pak Harto membagi-bagikan buku itu kepada tamu yang berkunjung ke rumahnya untuk memberikan ucapan selamat ulang tahun.
"Seluruh tamu diberi buku oleh beliau," kata Gubernur DKI Jakarta -- kala itu -- Sutiyoso begitu keluar dari Cendana 8, Menteng, Jakarta Pusat, Jumat (8/6/2007).
Sutiyoso lalu memperlihatkan buku-buku yang diperoleh dari penguasa Orde Baru itu. Buku pertama yang diperlihatkan adalah Soeharto: Hati Nurani Berbicara, Soeharto: Habis Manis Sepah Dibuang, dan Soeharto: Membangun Citra Islam.
Menteri Perindustrian Fahmi Idris juga mendapat hadiah serupa. "Jangan tanya dulu, saya mau cerita dulu. Saya diberi 4 buku," kata Fahmi saat itu.
Fahmi lalu menunjukkan buku berjudul Soeharto: The Life and Legacy of Indonesia's Second President karangan Retnowati Ruslan Abdulgani. Buku kedua berjudul HM Soeharto Membangun Citra Islam. Buku ketiga, Pak Harto Habis Manis Sepah Dibuang dan buku keempat, Hati Nurani Berbicara.
(nrl/rmd)