Peristiwa itu masih membekas betul dalam ingatan KGPH Puspo Hadikusumo, putra ketiga PB XII. Kapan persisnya peristiwa itu terjadi dia memang kesulitan lagi mengingatnya. Salah satu pangeran yang mendapat kepercayaan memelihara pusaka kraton Solo itu, memperkirakan kejadian itu terjadi saat Soeharto baru saja menjabat presiden.
Berdasarkan catatan sejarah, MPRS menunjuk Soeharto sebagai pejabat presiden pada 12 Maret 1967. Kemudian baru 27 Maret 1968, ia dilantik menjadi presiden.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Setelah Soeharto setuju, lalu Soedjono menemui PB XII mengutarakan maksud tersebut. PB XII mengizinkan lalu mengajak Ki Panji Mloyo Hamiluhur mengambil dan menyerahkannya kepada Soedjono. Apa pusaka kraton yang dipinjam itu, hingga kini belum jelas. Puspo hanya menyebut pusaka itu merupakan pusaka sangat penting bagi kraton.
Menurut sejumlah sumber, di antara sejumlah pusaka yang dimiliki Kraton Solo, ada satu pusaka utama yang kedudukannya jauh di atas pusaka-pusaka tersebut. Pusaka itu berupa keris bernama Kanjeng Kiai Ageng. Apakah keris itu yang dipinjam, Puspo enggan membeberkan.
"Saat itu semua menangis karena yang dibawa itu adalah pusaka andalan kraton. Tapi apa boleh buat, Sinuhun sudah mengijinkannya," tutur Puspo kepada detikcom.
Belasan tahun kemudian atau pada tahun 1985, Soeharto kembali menyampaikan niat untuk meminjam pusaka Kraton Solo. Perantara saat itu tetap penasihat spiritualnya, Soedjono. Sementara yang diminta mengambil adalah almarhum Panji Mloyo Hamiluhur, tokoh spiritual Kraton Surakarta.
PB XII telah mempersilakan Ki Panji Mloyo untuk memilih sendiri pusaka yang akan dipinjam Pak Harto. PB XII telah menetapkan sebuah malam untuk mengambil pusaka itu. Namun pada malam yang ditentukan itu ternyata terjadi kebakaran hebat di kraton. Akibatnya pemilihan dan pengambilan pusaka itu dibatalkan.
Selanjutnya apakah proses peminjaman itu benar-benar terjadi, hingga kini masih menjadi teka-teki. GPH Puger, putra PB XII yang mengetahui rencana peminjaman itu mengaku tidak tahu. "Sebaiknya hal itu tidak ditanyakan kepada saya," kata Puger.
Kini puluhan tahun telah berlalu. Soeharto telah berumur 85 tahun. Ia telah lengser dari kursi presiden. Sejumlah kasus hukum dan penyakit membelit Soeharto. Berkali-kali mantan presiden itu masuk rumah sakit namun kemudian ia pulih kembali. Masuk rumah sakit lagi dan pulih lagi.
Banyak yang meyakini penguasa RI 32 tahun itu memiliki kesaktian dan jimat yang memberati kehidupannya. Sejumlah tokoh spiritual yang menggeluti dunia mistis
menyarankan Soeharto agar segera membersihkan diri.
Membersihkan diri, tak hanya dalam arti meminta ampun dan mendekatkan diri kepada Tuhan, namun juga harus melepaskan diri dari jimat dan pusaka-pusaka yang mendampinginya selama ini.
"Secara spiritual dia harus melakukan acara-acara ritual guna mencabut semua kekuatan atau ilmu mistik yang telah dimiliki," kata paranormal Ki Joko Bodo.
Dan beberapa hari terakhir sebuah informasi datang dari sumber di Cendana. Disebutkan putri sulung Soeharto, Siti Hardiyanti Rukmana, akan mengembalikan sebuah pusaka ke Kraton Surakarta. Pusaka itu dipinjam ayahnya ketika masih berkuasa dulu.
Namun sumber itu juga menyebutkan niat Tutut, demikian Hardiyanti biasa dipanggil, tidak terlaksana. Pihak Kraton Surakarta menolak menerima pusaka tersebut. Benarkah? Masih perlu ditelusuri lagi, karena pihak Kraton mengaku tidak pernah menerima kedatangan Tutut dalam beberapa pekan terakhir untuk kepentingan tersebut.
Seperti diketahui hingga saat ini di Kraton Surakarta terdapat dua putera PB XII yang mengangkat diri sebagai raja menggantikan ayahnya. Pertama adalah KGPH Hangabehi, yang mengangkat diri sebagai PB XIII. Ia tetap berada di dalam kompleks Kraton Surakarta.
Sedangkan kedua, KGPH Tedjowulan juga mengangkat di sebagai PB XIII dengan dukungan para kerabat dan sebagian besar putra PB XII, namun dia 'bertahta' di luar kraton, tepatnya di kediaman keluarga Mooryati Soedibyo di Badran Solo.
Jika Tutut hendak mengembalikan pusaka kraton, nalarnya dia akan datang ke kompleks Kraton Surakarta di Baluwarti, Solo, tanpa mempertimbangkan PB XIII yang mana yang berada di dalam kraton. Namun GPH Puger, adik seibu Hangabehi, mengaku tidak tahu-menahu adanya kedatangan Tutut ke kraton tersebut dalam beberapa pekan terakhir.
Padahal, menurut pengakuan Puger, setiap ada tamu penting yang datang ke kraton dia selalu diminta untuk ikut menyambut. Apalagi jika kedatangan tamu itu berkaitan dengan aspek spiritual. Wajar saja karena Puger selama ini memang dikenal mendalami dunia tersebut. Dia pulalah yang dulu mencarikan 'hari baik' untuk penobatan kakaknya.
"Saya tidak tahu kalau pengembalian itu dilakukan secara personal kepada seseorang yang mengatasnamakan kraton atau justru Mbak Tutut salah jalan dengan mengembalikannya kepada orang yang salah," ujar Puger.
Yang dimaksud Puger pengembalian kepada personal adalah pembicaraan itu dilakukan di luar kraton antara Tutut dengan seorang keluarga yang memiliki kewenangan membicarakan hal-ikhwal kraton. Kalau memang hal itu terjadi, biasanya orang tersebut akan langsung dilaporkan ke kraton secara resmi. Dan menurut Puger, hingga saat ini hal itu juga tidak terjadi.
Sedangkan yang disebutnya sebagai salah jalan adalah pengembalian itu dilakukan kepada pihak Tedjowulan. Puger yang berseberangan, menyebut kubu Tedjo sebagai pihak yang tidak berwenang lagi mengaku-aku sebagai pengelola kraton.
Namun dugaan Puger itu ternyata juga dibantah oleh pihak GPH Suryo Wicaksono, putra PB XII yang berpihak kepada Tedjowulan. Gusti Nenok, demikian dia akrab disapa, bahkan terkejut mendengar adanya kabar tersebut. "Tidak ada pengembalian pusaka kepada kami. Saya selalu menyertai Sinuhun (PB XIII Tedjowulan) di setiap acaranya," paparnya.
Gusti Nenok mengungkapkan, tanggal 28 Mei lalu ikut mendampingi Tedjowulan menjenguk Soeharto yang terbaring sakit di RSPP. Saat itu, mereka diterima Mbak Titik dan Mbak Tutut. "Namun keduanya tidak membicarakan hal tersebut (pengembalian pusaka) kepada kami," paparnya.
Sama dengan Puspo dan Puger, Nenok membenarkan ada sejumlah pusaka Kraton Surakarta yang dipinjam Soeharto pada awal-awal dia berkuasa. Nenok juga menyebut perantara peminjaman adalah Soedjono Hoemardani.
Pusaka yang dipinjam itu, menurut Nenok, adalah beberapa pusaka berupa panji-panji dan umbul-umbul peninggalan masa Majapahit, wayang, gamelan. Pusaka itu kata Nenok telah dikembalikan setelah Pak Harto lengser. Ia tidak tahu bila masih ada keris atau tombak yang belum dikembalikan.
Keterangan dari Nenok ini dibantah oleh KGPH Puspo Hadikusumo. Putra ketiga PB XII ini termasuk 10 orang dari 35 putra-putri PB XII yang mendapat kepercayaan memelihara pusaka kraton. Saat itu dia dipercaya bersama KGPH Hangabehi (putra pertama PB XII) dan KGPH Hadi Prabowo (putra kedua).
Menurut pria yang tidak mau terlibat konflik suksesi Raja Solo, yang meminjam pusaka wayang dan gamelan adalah Presiden Soekarno. Yang dipinjam saat itu adalah seperangkat wayang pusaka kraton yang bernama Kiai Kadung dan saat ini sudah dikembalikan.
Mengenai pusaka yang dipinjam Soeharto, Nenok enggan menjelaskan apakah pusaka itu saat ini telah dikembalikan ke kraton. Namun dia berharap, jika memang ada inisiatif dari keluarga Cendana untuk mengembalikan pusaka, sebaiknya pihak kraton mau menerimanya.
"Saya tidak tahu pusaka apa yang akan dikembalikan. Namun Jika pihak Cendana merasa pusaka itu telah memberati kehidupan Pak Harto sebaiknya diterima saja. Tidak ada jeleknya membantu kesulitan orang," lanjutnya.
Namun dia berpesan pihak kraton memeriksa dengan seksama, sebab bukan tidak mungkin keluarga Cendana salah mengidentifikasi pusaka. Yang mengetahui persis pusaka itu hanya Sinuhun, Pak Djono, Mbah Mloyo, dan Pak Harto sendiri. Yang tiga sudah wafat, sedangkan Pak Harto juga sudah lemah ingatannya.
"Jangan-jangan yang pusaka yang akan dikembalikan itu bukan milik Kraton Surakarta. Mungkin Pak Harto juga meminjam dari tempat lain," kata Puspo.
Wajarlah Kraton Solo bersikap hati-hati. Selama berkuasa, Soeharto memang dikenal gemar mengoleksi pusaka. Salah satu pejabat di Setneg yang bertahun-tahun mengikuti Soeharto, pernah berkisah tentang koleksi pusaka itu kepada pengamat politik asal Solo, MT Arifin.
Dikisahkan, penguasa Orde Baru itu memiliki pusaka dari Bali. Pusaka itu berupa patung yang konon dapat berubah dan bisa memberikan informasi secara tepat. (mbr/asy)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini