Hal itu diungkapkan salah seorang saksi mata, Martowiyono (70) yang selamat dari musibah yang terjadi Rabu (26/12/2007) pukul 03.30 WIB. "Kalau sampai siang ini tidak ketemu, Pak Sido sudah pasti meninggal akibat tertimbun tanah," kata Martowiyono kepada detikcom di lokasi.
Pada hari Selasa (25/12/2007) sore pukul 17.00 WIB saat pulang dari ladang, Martowiyono melihat Pak Sido duduk di teras rumah sambil mendengarkan radio. Lampu rumah sudah dinyalakan dan waktu itu hujan deras sudah mulai turun.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Karena tidak ada tetangga yang melihat, Pak Sido pasti mati kalap. Warga sudah mencari di reruntuhan bangunan rumah yang terseret ke bawah hingga 40-an meter tapi belum ketemu," kata mantan lurah Desa Bero itu.
Menurut dia, rumah Sido berada di lereng bukit Gunung Cantuk bagian atas yang berbatasan dengan ladang milik Martowiyono. "Rumah saya juga ikut roboh. Bagian belakang ikut terdorong longsoran tanah," ungkap dia.
Sagimin yang bertempat tinggal di dekat rumah Sido berhasil menyelamatkan diri, meski rumahnya hancur. Demikian pula keluarga Karso juga selamat, meski rumahnya miring, hampir roboh.
Marto mengatakan sebelum longsor terjadi, sejak Selasa sore hingga Rabu dini hari terjadi hujan deras disertai angin kencang. Sekitar pukul 03.30 WIB tiba-tiba dari arah bukit Gunung Cantuk yang ada di belakang rumah terdengar suara gemuruh. Saat itu Marto langsung membangunkan istrinya Ny Sutarni (66) untuk lari keluar rumah.
Namun saat hendak lari keluar, rumah yang terbuat dari kayu itu roboh lebih dulu. Dia bersama istrinya tertimpa genting dan kayu-kayu atap rumah. Saat itu dia juga mendengar beberapa orang tetangganya berlari keluar sambil berteriak minta tolong.
"Saya selamat dan keluar rumah lewat kayu atap rumah yang patah. Istri saya juga selamat dengan luka lecet di bagian kepala, punggung dan tangan," kata dia. (bgs/asy)











































