"Salah satu ciri bullying adalah dilakukan secara berulang-ulang dan sistematis. Bentuknya bisa intimidasi atau kekerasan fisik," kata Sosiolog Imam Prasodjo dalam seminar 'Stop Bullying' di Hotel Le Meridien, Jl Sudirman, Senin (19/11/2007).
Imam menjelaskan, hasil studi di beberapa negara menunjukkan 15 persen pelajar di sekolah terlibat dalam bullying. Anak laki-laki umumnya lebih bully daripada anak perempuan. "Anak laki-laki lebih jahat terhadap sesamanya. Anak perempuan lebih baik antar sesamanya. Mungkin itu yang bisa saya simpulkan," paparnya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kalau perempuan, pengucilan, penyebaran rumor, memanipulasi hubungan pertemanan. Pokoknya merana banget deh. Pas kita datang, eh temen-temen pada pergi," ujar Sosiolog UI itu mencontohkan.
Imam lalu memaparkan anatomi bullying. Pelaku bullying hampir selalu lebih populer dari korbannya dan tidak memiliki empati. Dengan bullying, pelaku memperoleh kepuasan atas kekuasaan dan kontrol pada pihak lain. Untuk itu, Imam juga meminta ada pihak melakukan intervensi terhadap perilaku bullying di kalangan siswa sekolah.
"Berhentinya perilaku bullying jarang akibat kesadaran pribadi. Harus ada intervensi dari pihak luar," jelasnya.
Ada 2 tipe siswa yang cenderung suka di bully. Imam menyebutnya sebagai passive victims dan provocative victims.
Passive victims adalah siswa yang cenderung menarik diri dari lingkungannya. Biasanya siswa yang pencemas, minder, dan pendiam. Provocative victims adalah siswa yang perilakunya mengundang perhatian. Imam mencontohkan, rambutnya dicat, suka memakai aksesoris yang aneh-aneh, atau sok tahu.
"Ada juga yang berdasarkan fisik. Misalnya di sekolah pribumi ada siswa keturunan yang masuk, pasti nanti jadi bahan ejekan," ujarnya.
Lalu apa penyebab siswa menjadi pelaku bullying? Imam mencontohkan seperti emosi yang temperamental, impulsif, kurang perhatian dari keluarga, dan iklim pergaulan yang mewariskan bullying
Oleh karena itu, Imam menawarkan beberapa solusi untuk menumpas bullying di sekolah. Pertama, orangtua harus membiasakan bicara dengan anak, berkomunikasi tentang apa yang dialami buah hatinya di sekolah.
Kedua, orangtua harus berani mengajarkan anaknya berani mengatakan tidak terhadap ajakan bullying dan berani mencegahnya. Ketiga, sinergi orangtua dengan sekolah harus mulai dikembangkan.
Keempat, atau yang terakhir, adalah peran media. "Televisi juga harus bisa mengontrol tayangannya, terutama yang berbau kekerasan. Anak belajar dari apa yang dilihatnya di televisi," pungkasnya.
(gah/ana)