Laksamana Sukardi Diperiksa Sebagai Tersangka
Kamis, 08 Nov 2007 06:22 WIB

Jakarta - Mantan Menneg BUMN Laksamana Sukardi akan diperiksa tim penyidik Kejaksaan Agung dalam kasus penjualan 2 unit kapal tanker raksasa milik pertamina. Jika sebelumnya sebagai saksi, kini Laks diperiksa dengan status tersangka."Undangannya pukul 09.30 WIB. Mudah-mudahan datang. Kemarin pengacaranya bilang kepada saya kalau akan memenuhi panggilan," ujar Direktur Penyidik pada Jampidsus Kejagung M Salim kepada detikcom, Kamis (8/11/2007).Salim mengatakan, Laks yang merupakan mantan komisaris utama pertamina itu akan diperiksa bersamaan dengan 2 tersangka lainya. Mereka adalah eks Direktur Utama Pertamina A Nawawi dan eks Direktur Keuangan Pertamina Alfred H Rohimone.Ketiganya diumumkan sebagai tersangka kasus yang diduga merugikan negara sekitar US$ 20 juta itu pada Jumat 2 November lalu. A Nawawi dan Alfred H Rohimone telah diperiksa kemarin dan dilanjutkan hari ini.Jampidsus Kejagung, Kemas Yahya Rahman, saat mengumumkan tersangka mengatakan, pihaknya sudah melayangkan panggilan terhadap Laks untuk diperiksa hari ini. Laks juga dinyatakan dicekal.Surat pemanggilan tersebut sempat dipermasalahan oleh Laks dan kuasa hukumnya. Menurut Laks, pada sampul surat tersebut tercantum pemanggilan dirinya sebagai saksi, bukan tersangka.Namun, Kemas menegaskan, pihaknya sudah melakukan pemanggilan Laks sebagaimana mestinya."Ini coba dilihat! Kita panggilnya sebagai tersangka kan? Di surat pengantarnya kita tulis tersangka, begitu pula di surat panggilan," ujar Kemas beberapa waktu lalu. Dugaan korupsi VLCC bermula pada tahun 2004. Direksi Pertamina bersama-sama Komisaris tanpa persetujuan menteri keuangan pada 11 Juni 2004 melakukan divestasi 2 tanker VLCC milik Pertamia nomor Hul 51540 dan 1541.Hal itu bertentangan dengan Keputusan Menkeu nomor 89/1991 pasal 12 ayat 1 dan 2, karena persetujuan Menkeu baru terbit pada 7 Juli 2004.Kapal yang masih dalam tahap pembangunan di Hyundai Heavy Industries, Ulsan, Korea, dijual kepada Frontline Ltd dengan harga US$ 184 juta. Harga tersebut lebih rendah dari harga pasar saat itu, sehingga diduga merugikan keuangan negara sekitar US$ 20 juta.
(irw/ary)