Kisah Guru di Daerah Tertinggal
Hendak Mengajar Dihadang Harimau
Jumat, 05 Okt 2007 02:07 WIB
Jakarta - Menjadi guru di daerah tertinggal jelas sebuah pengabdian. Berangkatmengajar harus menembus hutan, kadangkala dihadang harimau.Itulah pengalaman Rustam (38), guru SD 217/IX, Nibung Putih, TanjungJabung Timur, Jambi. Rustam yang menjadi guru sejak tahun 1997 telahkenyang mengenyam pahitnya mengajar di daerah terpencil tersebut.Dari gedungnya sekolah yang seadanya, murid-murid yang kabur, liburberminggu-minggu karena banjir hingga di hadang binatang buas sudah pernahdialaminya."Dua tahun lalu, saya sudah terbiasa dihadang harimau ketika hendak kesekolah pagi-pagi buta. Kalau kini, paling-paling monyet liar," ungkapnyakepada detikcom di rumahnya Desa Talang Babat, Tanjung JabungTimur, Jumat(28/09/2007).Sebelum menjadi guru, Rustam sebenarnya sempat bekerja di pabrik kayuperkebunan swasta di kabupaten termiskin di Jambi tersebut. Hatinyatergerak menjadi guru akibat banyaknya anak-anak kecil yang tidakbersekolah dan hanya bermain di ladang."Itu berkelanjutan hingga mereka sekolah. Tapi untunglah, kini sudahjarang," ujar bapak dari Dian Niki Yoga (14) dan Putri Nawang Wulan (9)mengenang.Awal menjadi guru, tantangan datang dari alam, lingkungan dan murid itusendiri. Istri dari Ludiya (33) itu mengaku harus berhenti mengajar karenajalan ke SD tergenang hujan sehingga becek. Sepeda kumbangnya tidak bisamelewati lumpur setinggi lutut di jalan yang biasa ditempuhnya dalam waktusatu jam."Selain itu, siswa juga tidak ada yang hadir," cerita guru kelas 4 SDtersebut.Unutnglah, meski keadaan alam sangat terpencil, gaji tidak pernah telat.Meski tidak seberapa, dia bisa menetap di rumah yang sederhana, berukuran4x6 m dari dinding papan, beralaskan plester tanpa sofa satupun."Untunglah, listrik sudah masuk sebulan yang lalu. Jadi bisa lihat TVmeski kadang listriknya mati," cerita istrinya saat lesehan menjamudetikcom.Kini, dia hanya bisa berharap, anak-anak didiknya mampu meneruskan kejenjang pendidikan yang lebih tinggi. Karena, setiap tahunnya,paling-paling hanya tujuh orang yang melanjutkan ke SMP."Selebihnya, mereka kembali ke ladang, membantu orang tua jadi buruhpenyadap karet," cerita Rustam dengan mata bahagia.Desa tempat tinggal Rustam sungguh terpencil. Dikungkung hutan, kelapasawit dan pepohonan karet, jalan yang rusak hingga penerangan jalan yangtidak ada. Akses jalan ke Kota Jambi di tempuh hingga tiga jam lamanya.Tetapi waktu ini bisa lebih lama apabila musim hujan yang menggenangiseluruh jalanan.
(asp/aba)











































