Jakarta - Dengan mata menerawang, Andi (35) mengurai ingatannya akan ledakan bom di depan kantor Kedubes Australia, tiga tahun silam. Peristiwa itu masih menyesakkan dadanya."Saya sudah habis airmata kalau diminta menceritakan kejadian itu," kenang Andi kepada
detikcom di sela-sela peringatan tiga tahun ledakan bom Kedubes Australia, yang digelar di kantor pusat 'Aisyiyah, Jl Tebet Timur Dalam, Jakarta Selatan, Minggu (9/9/2007).Pada 9 September 2004, dia tengah berada di tempatnya bekerja, lantai 12 Plaza 89 yang berada di seberang kantor Kedubes Australia, Kuningan, Jakarta Selatan. Sekitar pukul 10.30 WIB, terdengar ledakan keras.Duarr! Dinding kaca di sekitarnya luluh lantak menjadi serpihan yang merajam kulit kepalanya, hingga mengucurkan darah. Dengan sempoyongan, dia menuruni tangga darurat.Sampai di lantai dasar, dia pun mendapati sekian banyak orang yang berlumuran darah. Serpihan kaca tampak berserakan di mana-mana."Saya langsung keluar gedung. Waktu itu kepala saya sangat pening. Lalu ada orang naik motor menghampiri saya. Saya naik setengah sadar dan hampir pingsan. Tahu-tahu saya sudah ada di RS Medistra," kisahnya.Akibat ledakan tersebut, kini Andi tidak lagi bisa bergerak selincah dahulu, kepalanya juga masih sering terasa sakit. Meski demikian, dia mengaku bersyukur mendapat modal dari pemerintah Australia."Dengan modal itu, saya bisa membuka usaha bengkel di Serpong," ujarnya.Dia pun mengkritik pemerintah Indonesia yang terkesan cuek dengan nasib korban. "Pemerintah Indonesia seharusnya ikut memperhatikan, jangan hanya pemerintah Australia saja," cetus Andi.Hal senada disampaikan mantan petugas kemanan kantor Kedubes Australia, Asep Mulyadi. Pria yang masih harus menjalani pemulihan atas luka berat yang dialaminya ini menyesalkan pemerintah Indonesia yang tidak peduli nasibnya."Selama ini yang nanggung biaya pemulihan itu pemerintah Australia. Boro-boro dari Indonesia," keluhnya.
(fiq/sss)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini