Merananya Kebelet di Pedalaman

Merananya Kebelet di Pedalaman

- detikNews
Senin, 03 Sep 2007 12:14 WIB
Merauke - Yang namanya panggilan alam, apalagi sudah sangat mendesak, jelas sulit diabaikan. Tapi tentu tak mudah melampiaskannya saat melakukan perjalanan ke daerah pedalaman.Keberadaan fasilitas MCK di pedalaman sudah pasti tak seperti di kota. Apalagi ketika menyusuri hutan belantara nan panjang."Rasanya ini perjalanan tiada akhir," keluh peserta rombongan Menneg PDT Lukman Edi saat menyusuri hutan pedalaman Taman Nasional Wasur, Kabupaten Merauke, Papua, Kamis 30 Agustus 2007.Wajar saja dia menyatakan demikian, bukannya karena bosan tak ada mal ataupun gedung bertingkat di sisi-sisi jalan, tapi karena desakan panggilan alam yang sulit dilampiaskan.Kondisi jalan yang kerap rusak dan berlubang semakin menambah penderitaan. Apalagi laju kendaraan tidak berkurang dari 80 hingga 130 km per jam.Gubrak! Gujrak! Gujruk! Para penumpang di dalam kendaraan terlonjak-lonjak dan kembali terhempas keras di kursi, bahkan beberapa kali terantuk hingga langit-langit kendaraan.Namun sang sopir tak peduli. Kecepatan adalah segalanya ketika menyusuri hutan. Berburu waktu agar tidak terjebak dalam kegelapan malam."Selain mengejar jadwal Pak Menteri, ya jangan sampai pas balik melewati hutan ini lagi sudah keburu gelap, ini kan hutan, nggak ada lampu jalan seperti di kota," alasan sang sopir.Para penumpang yang kebelet pipis pun hanya bisa meringis menahan guncangan tidak berdampak hebat pada kantong kemihnya yang sudah full tank. Berhubung ikut iring-iringan menteri, memang tidak ada kata berhenti. Sekadar mampir untuk melampiaskan hasrat di alam terbuka pun tak bisa. "Haduh merana banget nahannya," ratap seorang peserta rombongan.Begitu tiba di tempat tujuan di sekolah perbatasan RI-PNG... wuurrr... rombongan berhamburan keluar dari sejumlah mobil. Jika Pak Menteri dan para pejabat Muspida meladeni sambutan para siswa SMK Sota, rombongan lainnya punya tujuan beda namun punya pertanyaan serupa, "WC-nya di mana?"Nah, perjuangan tak seketika itu juga berhenti. Meski ada 2 WC, tapi tidak ada air. Haduh! Untung saja para siswa warga Indonesia maupun Papua New Guinea itu dengan sigap mengambil air dari sumur dengan sejumlah ember kecil.Antrean di depan pintu WC pun memanjang. Apesnya, adat timur masih berlaku. Yang lebih berumur, apalagi kaum ibu, mendapat giliran lebih dulu."Haduh leganya," ucap seorang ibu yang raut wajahnya sudah bisa kembali berseri. "Lain kali cuek aja deh bawa popok dewasa kali yah, daripada jadi sakit cuma gara-gara kebelet," timpal yang lainnya diiringi cekikikan para pengantre WC.Kisah serupa dialami rombongan Menneg PDT Lukman Edi saat menyusuri hutan jati di Palangkaraya, Kalimantan Tengah pada Rabu 22 Agustus 2007. Bedanya, sang menteri yang kerjanya memang berkelana dari satu daerah pelosok ke pelosok lainnya ini saat itu naik pesawat.Sementara sejumlah anggota rombongan yang khawatir naik pesawat karena cuaca untuk penerbangan kerap buruk, memilih jalan darat. Petualangan menyusuri hutan selama 4 jam pun kerap terganggu dengan panggilan alam."Minggir sebentar dong Pak Sopir," rintih seorang peserta rombongan diamini teman-temannya. Begitu mobil berhenti, mereka pun berhamburan ke dalam hutan, masing-masing mencari posisi menyalurkan desakan panggilan alam.Tapi tentu saja hal ini sangat mudah bagi kaum Adam. Sedangkan bagi kaum Hawa... Duhhh merananya! Kebelet pipis harus tetap ditahan. Maklum, namanya juga di hutan belantara, semuanya serba terbuka. Meski ada pepohonan, kan tidak dijamin bisa menutupi seluruh tubuh. Tak nyaman rasanya."Pakai botol air mineral saja nih, atau pakai yang kemasan gelas," ledek para pria sambil tertawa tergelak-gelak disambut mulut cemberut para wanita.Perjalanan pun dilanjutkan. Para pria sudah bisa duduk tenang di dalam kendaraan yang melintasi jalan yang tidak semuanya mulus dan sarat goncangan. Jauhnya perjalanan membuat para pria mampir hingga 2 kali untuk menyalurkan panggilan alam.Sementara para wanita hanya bisa gigit jari dan meringis menahan kebelet. Ditawari minum pun tak sudi. Bisa-bisa malah menambah beban muatan kantong kemih."Wah ada rumah warga, coba ke sana saja," saran seorang peserta rombongan. Sayang, setelah diketuk pintunya sekian lama, ternyata sang penghuni tidak berada di rumah. "Biasanya lagi bekerja ke ladang kalau jam-jam segini," kata sang sopir.Terpaksa, perjalanan dilanjutkan. Setelah hampir 3 jam menahan kebelet, akhirnya terlihatlah warung kopi. Para wanita segera bergegas mencari WC. Syukurlah, akhirnya hasrat alamiah itu bisa tersalurkan. Perjalanan pun bisa kembali dilanjutkan.Goncangan dan bantingan di dalam kendaraan akibat jalan rusak tak lagi mengganggu kantong kemih. Tapi giliran pinggang yang rasanya mau patah. Ugh! (sss/ana)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads