Fendi, warga Jorong Toboh, Nagari Malalak Timur, Kecamatan Malalak, Kabupaten Agam, Sumatera Barat, tak pernah menyangka kampung halamannya kini luluh lantak dalam sekejap setelah dihantam banjir bandang atau galodo. Fendi menceritakan detik-detik banjir datang hingga dirinya sempat menyelamatkan beberapa orang.
Saat itu, Rabu (26/11), sekitar pukul 15.00 WIB, Jorong (Dusun) Toboh, seperti perkampungan di Malalak Timur lainnya, porak-poranda diterjang sapuan banjir bandang yang tiba-tiba meluncur deras dari arah perbukitan. Dari rekaman video yang beredar, galodo terlihat seperti gulungan ombak besar berwarna putih yang menghantam apa pun yang dilaluinya, tak terkecuali perkampungan di bawahnya.
Fendi menyaksikan langsung aliran galodo itu dengan mata telanjang. Sebelum banjir bandang sampai ke permukiman warga, ia mendengar secara jelas bunyi letupan-letupan keras dari arah perbukitan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Fendi spontan berteriak ke arah warga di sekitar kampung untuk menyelamatkan diri. Ia dan beberapa warga dengan sigap berlari ke sisi yang aman.
"Saya melihat langsung dari bukit itu air berwarna putih dan kayu-kayu mulai meluncur deras. Saya berusaha meneriaki warga agar segera menyelamatkan diri," ujar Fendi dilansir Antara, Sabtu (6/12/2025).
Fendi berlari ke tempat yang lebih tinggi. Dari sana ia menyaksikan perkampungan yang awalnya penuh dengan ketenangan, hamparan sawah hijau, petani yang menjemur kayu kulit manis di pinggir jalan serta tawa kecil anak-anak, seketika berubah menjadi lautan lumpur dan tumpukan kayu.
Suara-suara teriakan didengarnya begitu jelas. Batinnya rusak, hatinya hancur. Tapi tidak dengan keberaniannya. Dengan berbekal keberanian dan hati nurani yang masih tersisa di dalam dirinya, ia membantu penyelamatan warga satu persatu. Bahkan, tanpa sadar, lelaki yang usianya sudah kepala lima itu bisa menggendong dua ibu-ibu sekaligus pada saat banjir masih menerjang.
"Terus terang saja, saya sampai tidak percaya sore itu saya sanggup menggendong dua perempuan yang bobot badannya jauh lebih besar dari saya. Mungkin ini kuasa Tuhan," kata Fendi mengenang.
Fendi tahu betul, dalam situasi krisis, sesuatu yang mustahil terkadang bisa dilakukan tanpa disadari. Apalagi dia punya pengalaman lolos dari maut ketika terjadi likuefaksi di Palu pada 28 September 2018.
Kala itu, lelaki Minangkabau tersebut sedang mengadu nasib di Palu. Namun, peruntungannya tak selalu baik. Di sana, ia harus berjuang antara hidup dan mati agar lepas dari ancaman likuefaksi.
Beberapa tahun kemudian, Fendi kembali merasakan pahitnya bencana alam yang meratakan tanah leluhurnya. Dengan terbata-bata, Fendi bercerita bagaimana ia tak bisa menyelamatkan sejumlah warga yang meminta bantuannya.
Bukan dia tak mau, kondisi lumpur dengan ketinggian hingga 3 meter membuat niat baiknya untuk menyelamatkan korban tidak dapat dilakukan.
Dalam ingatan Fendi, setidaknya ada empat hingga lima orang, termasuk mertua perempuannya, yang dia selamatkan dari ancaman maut. Semua dia bawa ke sebuah pondok kecil.
Setelah itu, barulah Fendi berlari meminta bantuan ke daerah Tandikek, desa terdekat dari lokasi bencana.
"Saya minta tolong ke warga di sana untuk menghubungi TNI, Polisi, dan BNPB untuk membantu warga," kata dia.
Sekitar pukul 22.00 WIB, Fendi mengatakan anggota Brimob Polda Sumbar tiba di lokasi bencana. Namun, pada saat itu hujan masih mengguyur langit Malalak Timur. Kondisi pun gelap gulita karena aliran listrik padam.
Esok paginya, Kamis (27/11), tim SAR gabungan yang terdiri atas Basarnas Padang, Brimob Polda Sumbar, BPBD, PMI, relawan dan masyarakat mulai menyisir area perkampungan untuk mencari korban banjir bandang.
Satu persatu korban yang sudah meninggal dunia mulai ditemukan. Tangis dan air mata tak henti mengalir dari mereka yang selamat dari maut. Setiap kantong mayat berwarna oranye dibuka satu demi satu untuk memastikan identitasnya.
Untuk menemukan dan mengevakuasi korban, Tim SAR gabungan dihadapkan dengan tantangan yang begitu sulit. Tumpukan material berupa lumpur, kayu-kayu, batuan besar hingga material rumah yang ambruk menjadi kendala utama. Selain itu, di saat bersamaan pencarian juga diselimuti rasa kekhawatiran munculnya banjir bandang dan tanah longsor susulan.
Pada saat itu hujan masih membasahi Nagari Malalak Timur yang menyebabkan medan pencarian semakin sulit. Bahkan, di hari kedua pencarian, pada Jumat (28/11), beberapa personel Brimob dan Basarnas Padang jatuh bangun membawa jenazah. Namun, tugas mulia itu akhirnya berhasil dituntaskan setelah Tim SAR mengantarkan jenazah ke mobil ambulans.
Setiap jenazah yang sudah teridentifikasi langsung dimandikan, disalatkan, dan dikuburkan. Warga yang belum menemukan sanak saudaranya hanya bisa memanjatkan doa sembari berharap keluarga mereka dapat ditemukan, hidup atau mati.
Kepala Jorong Toboh Hasbi mengatakan baru kali ini perkampungan itu ditimpa musibah banjir bandang. Sebelumnya, galodo memang pernah terjadi namun jauh dari lokasi itu.
Dia bersama masyarakat hingga ini masih berpikir keras terkait faktor yang menjadi penyebab utama banjir bandang yang meratakan kampung mereka. Belum ditemukan apakah di atas perbukitan tersebut terjadi penebangan liar atau tidak.
Akan tetapi, yang pasti pada umumnya, masyarakat di nagari itu bekerja sebagai petani kayu kulit manis. Rempah-rempah bernama Latin Cinnamomum verum ini sangat lazim ditemukan di Kecamatan Malalak dan sekitarnya. Itu telah menjadi mata pencaharian warga sejak lama.
Dari peristiwa bencana yang terjadi, satu hal yang membuat Hasbi dan masyarakat sekitar merenung. Ia tak menyangka begitu derasnya arus banjir bandang yang menerjang kampung mereka, namun malah terpecah dua ketika mendekati sebuah masjid.
"Saya masih tak percaya, aliran banjir bandang terbelah dua saat mendekati masjid dan perkampungan sehingga air terbelah dua," ujarnya.
Merujuk data dashboard Satu Data Bencana, Pemerintah Provinsi Sumbar per Sabtu (6/1/2025),korban meninggal dunia akibat bencana hidrometeorologi di Ranah Minang mencapai 226 jiwa. Kemudian 28 belum teridentifikasi, 213 masih dalam status pencarian, 112 mengalami luka-luka, 22.355 warga mengungsi.
Bencana menyebabkan 3.332 rumah rusak ringan, 990 rusak sedang, 1.759 rusak berat, 35.792 rumah terendam banjir dan 1.028 rumah hilang dan hanyut. Bencana terjadi di 16 kabupaten dan kota atau tersebar di 50 kecamatan. Pemerintah memperkirakan kerugian akibat bencana ini mencapai Rp 1.707.628.681.505.
Tonton juga video "Terjadi 10 Kali Longsor Susulan, Warga Tapteng Diminta Mengungsi"











































