×
Ad

Cerita Wali Asrama Beri Perhatian Penuh ke Siswa Sekolah Rakyat Aceh

Dea Duta Aulia - detikNews
Jumat, 05 Des 2025 16:16 WIB
Foto: Kemensos
Jakarta -

Asrama putri Sekolah Rakyat Menengah Atas (SRMA) 1 Aceh Besar kerap diwarnai suasana keakraban. Sang wali asrama Lina Maulidina Marza atau yang biasa disapa Bunda Lina punya cara unik mewujudkan suasana tadi lewat 'amplop kebahagiaan'.

Lina selalu siap mendengarkan keluh kesah para siswa putri. Malam hari pun tak segan dirinya duduk di tepi ranjang, mendengarkan seorang siswi yang datang dengan mata sembab. Bagi Lina, inilah jam kerja sesungguhnya.

Berpengalaman sebagai Pendamping Rehabilitasi Sosial, dirinya terbiasa mendampingi anak meski hanya berdurasi hitungan jam. Kini, dia harus mengerahkan hari-harinya untuk mengasuh 65 remaja putri dengan kisah hidup yang tidak sederhana.

Untuk menguatkan hubungan antar anak, Bunda Lina awalnya membuat kegiatan amplop kebahagiaan. Di dalam amplop tadi, setiap anak menuliskan apresiasi untuk temannya. Ketika amplop dibuka dan isinya dibacakan, banyak yang menangis karena baru menyadari bahwa orang lain melihat sisi baik dalam diri mereka.

"Mereka terharu karena baru tahu temannya melihat sisi baik mereka. Validasi kecil begitu sangat berarti," kata Lina dalam keterangan tertulis, Jumat (5/12/2025).

Ada pula momen yang terus membekas dalam ingatannya ketika seorang anak berkata lirih, "Bunda boleh tidak ganti ibu saya?" Ternyata orang tuanya bercerai.

Di tengah gempuran curahan hati anak-anak, Lina bersyukur ditugaskan di SRMA 1 Aceh Besar karena bisa membimbing penuh mereka dengan beragam permasalahan secara baik.

"Bila anak-anak ini tidak dapat kasih sayang, bagaimana ke depan ketika dia menjadi ibu dan ayah. Itulah yang kami ajarkan, supaya menjadi lebih baik ke depannya," tutur Lina.

Empat bulan selama masa kerjanya mengajarkan bahwa cinta tidak perlu besar. Kadang cukup duduk di tepi ranjang, mendengarkan cerita anak-anak, lalu memeluk satu anak sebelum ia kembali bermain. Hal-hal kecil itu sudah cukup untuk menyalakan harapan anak-anak dan harapan Lina sendiri.

"Awalnya kami meraba, bingung sekali. Tugas wali asrama itu apa, bagaimana harus memulai," ujarnya.

Pelan-pelan keraguan itu memudar. Banyak siswa pernah diasesmen sebelumnya. Dia mengenal wajah-wajah mereka, mengingat fragmen cerita yang mereka bawa. Di sanalah tekadnya tumbuh.

"Mengetahui latar belakang anak-anak tersebut itulah yang sebenarnya menjadi penyemangat," katanya.

Peran wali asrama tidak berhenti pada urusan fasilitas. Ada tugas membentuk karakter, menanamkan kedisiplinan, dan menyediakan ruang aman untuk anak-anak yang datang dengan beban masa lalu.

Jadwal piket membuat pola hidupnya berbeda dari keluarga pada umumnya. Dua hari menginap di asrama, satu hari penuh bekerja, kemudian satu hari berjaga sampai pagi. Waktu libur sering terisi urusan anak-anak yang memerlukan perhatian.

"Walaupun memang banyak hal berubah. Kadang dua hari tidak bertemu suami. Tapi beliau mendukung karena tahu saya senang dengan anak," ujar Lina.

Dia juga belajar memahami dinamika tugas pendampingan yang menuntut kekompakan seluruh tim.

"Jadi akhirnya ketika itu tidak dilakukan bersama oleh orang dewasa yang mau kita bilang pembentukan karakter tidak jalan," jelas Lina.

Perubahan anak-anak terlihat jelas. Mereka yang dulu menunduk kini menyapa dengan salam. Anak yang dulu sinis belajar tersenyum dan memeluk.

Lina mengingat satu anak yang awalnya sangat sulit didekati. Wajah datar, nada dingin, dan enggan menyapa. Semua berubah setelah dirinya memuji kerapian kamar anak tersebut. Baju dan tempat tidur rapi dan kamar terlihat bersih.

"Besoknya dia mulai menyapa. Hari ini sudah memeluk," tuturnya.

Ternyata latar belakangnya memang dari orang tua yang mungkin tidak pernah punya waktu untuk anak, bahkan sekadar memberikan apresiasi.

Ada juga cerita seorang anak laki-laki yang ketahuan merokok. Pelanggaran itu bisa membuatnya dikeluarkan. Namun sekolah memilih memberi kesempatan.

"Diberikanlah gitar dan mengganti (keinginan merokok) dengan permen. Rasa percaya dirinya muncul dan rokok ditinggalkan," ujar Lina.

Isu pertemanan pun menjadi cerita harian. Malam saat dirinya piket sering diisi antrean anak yang hanya ingin menangis, didengar, dan divalidasi perasaannya. Hal sederhana yang jarang mereka dapat di rumah.

"Yang mereka butuhkan itu sederhana. Dipeluk, didengar, dihargai. Mereka ingin merasa aman dan diakui," ujarnya.

Dari banyak percakapan, Lina melihat benang merah yang sama. Hampir semua membawa kekosongan kasih sayang.

Sebagian tumbuh dalam keluarga berkonflik, sebagian kehilangan ibu, sebagian lagi dibesarkan oleh orang tua yang sepenuhnya bekerja. Karena itu, Sekolah Rakyat bagi Lina adalah ruang pemulihan sekaligus tempat membentuk kebiasaan baik dan rasa aman bagi anak.

"Kalau saya tanya, di rumah dipeluk seperti ini atau tidak? Mereka jawab ingin, tapi tidak pernah," tutupnya.



Simak Video "Video: Sekolah Rakyat: Mencetak Generasi Emas 2045"

(anl/ega)
Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

Foto

detikNetwork