Kepala Biro Persidangan dan Pemasyarakatan Konstitusi Sekretariat Jenderal (Setjen) MPR RI, Dr Wachid Nugroho menyampaikan selama era reformasi hingga sekarang, muncul perdebatan mengenai Risalah MPR.
Perdebatan menyentuh kepada sejauh mana Risalah Amendemen UUD NRI Tahun 1945 dijadikan rujukan wajib oleh Mahkamah Konstitusi (MK).
"Pertanyaannya siapa yang memegang otoritas risalah sebagai referensi awal dalam penafsiran konstitusi, MPR atau Mahkamah Konstitusi?," kata Wachid, dalam keterangannya, Jumat (5/12/2025).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kegelisahan ini muncul karena MK dalam beberapa putusan kerap menggunakan berbagai sumber risalah termasuk Risalah Amendemen UUD NRI Tahun 1945 dan naskah komprehensif. Padahal keduanya memiliki perbedaan substansi.
Hal itu disampaikan Wachid dalam Focus Group Discussion (FGD) bertajuk 'Menempatkan Risalah Amendemen UUD NRI Tahun 1945 Sebagai Rujukan Konstitusional: Mengurai Makna Konstitusi Dalam Tinjauan Hukum dan Kajian Akademik' di Gedung Fakultas Hukum Universitas Udayana (FH Unud), Bali, Rabu (3/12).
Wachid sendiri meninjau praktik penggunaan risalah di berbagai negara seperti, Jerman yang cukup intens menggunakan risalah dalam putusan MK. Lalu Kanada, risalah digunakan secara hati-hati namun perlahan mulai menggunakannya dalam penafsiran konstitusi terutama setelah amendemen konstitusi pada 1982.
Di India, umumnya sejarah legislatif boleh digunakan sebagai alat bantu penafsiran, tetapi hanya dalam kondisi yang samar atau ambigu. Sedangkan Australia, sangat enggan merujuk pada materi parlemen termasuk risalah dalam penafsiran dan lebih menganut pendekatan tekstualis dan struktural.
Menurut Wachid, untuk menjawab tantangan otoritas dan aksebilitas, MPR tengah melakukan digitalisasi terhadap risalah-risalah yang ada. Hal ini dilakukan untuk memastikan risalah tidak hilang atau rusak.
"Risalah MPR bukan hanya sekadar catatan historis saja, tetapi juga menjadi landasan dalam memahami konteks perubahan dan interpretasi konstitusi. Digitalisasi dilakukan agar perguruan tinggi dan peneliti dapat mengakses secara mudah dan resmi," ujar Wachid.
Penyajian risalah akan dibuat dalam bentuk cetak dan tematik. Dalam bentuk tematik berfungsi untuk menata ulang substansi berdasarkan isu-isu tertentu untuk memperdalam pemahaman materi secara lebih utuh.
"Sehingga risalah-risalah dapat memberikan gagasan-gagasan ketatanegaraan baru berdasarkan studi atas proses dan rekomendasi MPR dari masa ke masa," kata Wachid.
Sementara itu, Guru Besar FH Unud Prof Dr I Made Subawa menekankan aspek keilmuan dan yudiris dari risalah. Ia menegaskan UUD NRI Tahun 1945 sebagai hukum positif tinggi harus dipahami melalui dokumen pendukungnya, termasuk risalah yang memuat filosofi, dasar hukum, dan landasan sosio-yuridis pembentukan konstitusi.
"Risalah Amendemen UUD NRI Tahun 1945 adalah cikal bakal dan tonggak pemikiran pembentukan konstitusi. Dokumen ini tidak bisa dipisahkan dari teks UUD NRI Tahun 1945 itu sendiri, karena menjadi pedoman dalam penafsiran hukum," kata Prof Subawa.
Prof Subawa juga mengatakan bahwa risalah mencakup seluruh tahapan amendemen, mulai dari rancangan, pembahasan, dan menjadi referensi penting bagi akademisi, praktisi hukum, serta lembaga peradilan dalam memahami maksud awal pembentukan konstitusi.
Sedangkan Guru Besar FH Unud Prof Dr I Dewa Gede Palguna mengatakan Risalah Amendemen UUD NRI Tahun 1945 bukan sekadar dokumen sejarah, tetapi sebagai rujukan penting untuk memahami konteks perubahan konstitusi. Prof Palguna juga mengaitkannya dengan mazhab originalisme yang membagi penafsiran menjadi original intent dan original meaning.
"Jika penafsiran diberikan kepada lembaga politik, konstitusi bisa menjadi ajang pertengkaran. Hanya pengadilan yang memiliki otoritas untuk memastikan konstitusi dijalankan dengan konsisten," kata Prof Palguna.
Sehingga, kata Prof Palguna, penafsiran harus memperhatikan kesatuan konstitusi, koherensi praktis, dan kemampuan norma konstitusi untuk berjalan, maka konstitusi tetap hidup dan relevan dengan perkembangan zaman.
Sementara, Dosen FH Unad, Edward Thomas Lamury Hadjon menekankan pentingnya memahami konsep risalah melalui dua pendekatan, yaitu konseptual dan perundang-undangan.
Sehingga memiliki legitimasi untuk digunakan sebagai dasar penemuan hukum dan referensi konstitusional dalam konteks MK maupun MPR.
Edward menambahkan risalah memiliki kedudukan dan fungsi sebagai rujukan konstitusional, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 54 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003, yang memungkinkan MK meminta keterangan terkait risalah rapat.
"Risalah Amendemen UUD NRI Tahun 1945 adalah risalah resmi yang dibuat berupa laporan tertulis dan rekaman, serta memuat pengumuman dan pembicaraan dalam sidang paripurna MPR tentang putusan perubahan undang-undang dasar," pungkasnya.
Simak juga Video Ketua MPR: Amandemen Bukan Solusi Instan Atasi Masalah











































