Wakil Ketua MPR RI, Edhie Baskoro Yudhoyono (Ibas) menghadiri Lokakarya MPR RI bertajuk 'Kreativitas Indonesia Menuju Regulasi Hak Cipta yang Adaptif dan Inklusif'. Diikuti lebih dari 20 asosiasi pelaku serta penggiat seni budaya Indonesia. kegiatan ini menjadi ruang dialog strategis antara para pemangku kepentingan industri kreatif dan para legislator.
Pada kesempatan ini, Ibas menegaskan perlindungan hak cipta merupakan bentuk penghormatan terhadap martabat para pencipta dan perjalanan batin di balik setiap karya. Ia juga menyoroti capaian penting dari UU Hak Cipta 2014 yang lahir melalui kolaborasi pada era Presiden SBY, mulai dari kebebasan berekspresi, tumbuhnya performing rights, hingga meningkatnya pendapatan kreator dan penerimaan negara.
Ia pun menyampaikan komitmen Fraksi Partai Demokrat untuk memperjuangkan regulasi yang adil, transparan, dan akuntabel. Terutama dalam tata kelola royalti dan perlindungan pekerja seni, serta memastikan setiap pembaruan melibatkan seluruh pemangku kepentingan secara inklusif.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ibas juga menekankan urgensi penyempurnaan regulasi di tengah perkembangan teknologi digital dan kecerdasan buatan. Dengan begitu, Indonesia dapat memiliki ekosistem kreativitas yang adaptif, modern, inklusif, dan berkelanjutan bagi seluruh pelaku seni budaya.
Ibas pun menekankan setiap karya adalah warisan intelektual yang menandai kemajuan suatu bangsa. Ia menyebut hak cipta bukan sekadar urusan legal formal, melainkan penghormatan atas dedikasi, kerja keras, dan perjalanan batin seorang pencipta.
"Setiap karya adalah jejak pemikiran, proses batin, dan usaha panjang. Melindungi karya adalah bentuk penghormatan pada pencipta sekaligus kemajuan peradaban bangsa," tegas Ibas dalam keterangannya, Kamis (27/11/2025).
Dalam sambutannya, ia juga membahas perkembangan penting yang telah dicapai Indonesia melalui Undang-Undang Hak Cipta Tahun 2014. Ia menilai regulasi tersebut merupakan tonggak sejarah besar dalam mewujudkan ekosistem kreatif yang lebih kuat dan berkelanjutan.
"Pada masa pemerintahan Presiden keenam RI Susilo Bambang Yudhoyono, kita menempatkan hak cipta pada posisi terhormat. UU Hak Cipta 2014 lahir melalui semangat kolaborasi untuk menjamin kebebasan berkreativitas serta memberikan perlindungan ekonomi yang lebih baik bagi para kreator," ujarnya.
Menurutnya, sejak regulasi tersebut diterapkan, aktivitas pertunjukan dan performing rights berkembang pesat. Industri musik, perfilman, seni pertunjukan, hingga konten digital juga mengalami peningkatan signifikan dalam nilai ekonomi dan daya saing. Di sisi lain, negara turut menikmati peningkatan penerimaan melalui sektor kreatif yang terus bertumbuh.
"Kreativitas adalah sumber daya masa depan. Melalui regulasi yang tepat, nilai ekonominya bisa dirasakan oleh para pelaku seni maupun negara," tambahnya.
Meski begitu, ia menilai perkembangan teknologi yang semakin cepat-terutama era digital dan kecerdasan buatan (AI)-menuntut penyesuaian kebijakan. Ia pun menyoroti pentingnya regulasi yang responsif terhadap tantangan terbaru, termasuk transparansi royalti, digital rights management, serta perlindungan terhadap karya yang dihasilkan melalui atau oleh teknologi baru.
"Kita ingin memastikan Indonesia tetap menjadi rumah yang adil, modern, dan berkelanjutan bagi seluruh kreator bangsa. Maka, regulasi hak cipta tidak boleh tertinggal dari perkembangan zaman," tutur Ibas.
Ibas juga menegaskan komitmen Fraksi Partai Demokrat untuk mengawal kebijakan yang berpihak pada pekerja seni dari semua kelas. Melalui ruang dialog seperti lokakarya ini, ia ingin memastikan setiap pemangku kepentingan didengar aspirasinya.
"Pembaruan regulasi tidak boleh hanya berpihak pada kelompok tertentu. Semua kreator-besar, menengah, kecil-punya hak yang sama untuk dilindungi," ucapnya.
Menurut Ibas, lokakarya tersebut menjadi ruang penting bagi asosiasi pelaku seni untuk menyampaikan masukan mengenai praktik pengelolaan royalti, hak moral dan ekonomi, serta peran negara dalam memberdayakan pelaku kreatif di seluruh Indonesia. Ia menilai masukan tersebut akan menjadi dasar penting dalam penyempurnaan regulasi ke depan.
"Wakil rakyat bertugas mendengar dan memperjuangkan aspirasi publik. Apa yang Bapak-Ibu sampaikan hari ini akan kami kawal di parlemen," paparnya.
Serap Aspirasi Pelaku Industri Kreatif
Selain pemaparan akademis, para pelaku industri kreatif turut menyampaikan pengalaman dan aspirasi langsung terkait tantangan perlindungan hak cipta di lapangan. Musisi dan komposer Purwacaraka pun menekankan revisi UU Hak Cipta yang harus mengedepankan nilai moral, kemudahan prosedur, manfaat bagi publik, serta memberikan kepastian hukum.
Senada, Satriyo Yudi Wahono (Piyu) dari Asosiasi Komposer Seluruh Indonesia (AKSI) menyoroti pembagian royalti yang saat ini hanya berkisar 2% dari penyelenggaraan pertunjukan. Ia pun mendorong adanya perubahan mekanisme lisensi sebelum pagelaran, kejelasan definisi pertunjukan sebagai layanan publik, serta penerapan direct license untuk memastikan hak ekonomi pencipta benar-benar diterima tanpa hambatan birokrasi.
Dari sektor perfilman, Ketua PARFI Marcella Zalianty mengusulkan agar royalti bagi aktor diatur secara tegas. Ia juga mendorong perubahan ketentuan pasal mengenai delik aduan menjadi delik biasa sehingga aparat penegak hukum dapat lebih aktif menangani pelanggaran hak cipta tanpa harus menunggu pelaporan.
Menambahkan perspektif generasi muda, penyanyi Agatha Chelsea menyoroti masih minimnya pemahaman anak muda dalam hal pendaftaran hak cipta. Ia juga mendorong penyederhanaan alur pendaftaran hak cipta serta kejelasan batas penggunaan teknologi AI dalam kreativitas agar tetap aman dan tidak melanggar hak pencipta lain.
Aspirasi para pelaku industri kreatif tersebut langsung ditanggapi oleh jajaran Fraksi Partai Demokrat di DPR RI yang hadir. Anggota Badan Legislatif FPD, Benny K. Harman, menegaskan komitmen seluruh masukan dan keberatan industri kreatif akan diperjuangkan dalam pembahasan di Badan Legislasi.
"UU No. 28/2014 sudah tidak sepenuhnya relevan menghadapi perubahan ekosistem digital dan penetrasi AI. Karena itu, revisi undang-undang ini harus mampu memberikan kepastian hukum, melindungi pencipta dan platform digital, serta responsif terhadap perkembangan teknologi sehingga tidak ada pihak yang dirugikan," jelasnya.
Senada, anggota FPD Rinto Subekti menjelaskan isu terkait hak cipta berbasis AI, peran LMKN dalam permohonan hak cipta, serta digitalisasi sistem pembayaran royalti telah masuk dalam pembahasan revisi. "Sanksi administrasi dan pidana juga akan diperkuat, guna memastikan hak ekonomi pencipta benar-benar terlindungi dan dapat ditegakkan secara hukum," katanya.
Dalam kesempatan yang sama, Kapoksi Komisi III FPD, Hinca Panjaitan menyoroti perlunya kepastian hukum yang melindungi karya dari awal hingga produk akhirnya. Ia mengingatkan penerapan KUHAP baru pada Januari 2026 juga harus menguatkan mekanisme penegakan hukum terkait hak cipta.
Adapun Kapoksi Komisi VII FPD, Dina Lorenza menekankan pentingnya kolaborasi pemerintah, industri musik, dan perfilman nasional untuk meningkatkan daya saing kreator Indonesia di tingkat internasional, sekaligus memberikan perlindungan optimal dari plagiasi dan pembajakan karya.
Sebagai informasi, lokakarya ini turut menghadirkan sejumlah narasumber lintas bidang yang memiliki peran besar dalam ekosistem hak kekayaan intelektual di Indonesia. Hadir sebagai narasumber utama, Guru Besar HKI Universitas Indonesia, Prof. Dr. Agus Sardjono, S.H., M.H.; Purwacaraka, musisi sekaligus komposer, serta Ardy Nurdin dari band Jikustik turut menyampaikan pandangan pelaku industri musik terkait tantangan royalti dan distribusi karya seni di era digital.
Hadir pula beragam perwakilan asosiasi seni, budaya, dan industri kreatif nasional seperti Agatha Chelsea dan Piyu Padi, perwakilan WAMI, ASIRI, PAPPRI, serta organisasi profesi seperti APFI, HDII, Koalisi Seni, AINAKI, AGI, Visinema, Indonesian Cinematographers Society, penyiar, penerbit, fotografer, arsitek, hingga asosiasi pilot drone menunjukkan bahwa hak cipta bukan hanya isu musik dan film semata, tetapi mencakup seluruh spektrum kreativitas Indonesia.
Selain pelaku industri, hadir pula perwakilan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Dari unsur legislatif, sejumlah Anggota Fraksi Partai Demokrat di DPR RI seperti Benny K. Harman, Hinca Panjaitan, Raja Faisal, Ishak Mekki, M. Lokot Nasution, Wahyu Sanjaya, Mulyadi, Iman Adinugraha, Dina Lorenza, Rusda Mahmud, Frederik Kalalembang, hingga Marwan Cik Asan, turut mengikuti rangkaian diskusi. Hadir pula jajaran DPP Partai Demokrat Bidang Hukum, mempertegas komitmen partai dalam mengawal pembaruan regulasi perlindungan hak cipta yang inklusif dan adaptif bagi semua pekerja kreatif Indonesia.
(prf/ega)










































