Anggota Komisi IX DPR RI, Edy Wuryanto menyampaikan keprihatinan atas kasus seorang ibu hamil di Papua yang ditolak oleh empat rumah sakit hingga akhirnya meninggal bersama bayinya.
Menurutnya, tragedi ini bukan kecelakaan administratif, melainkan pelanggaran terang-terangan terhadap Undang-Undang Kesehatan. Dalam undang-undang, kesehatan adalah hak asasi yang tidak boleh dikurangi dalam situasi apapun.
"Ketika seorang ibu hamil, dalam kondisi gawat darurat, ditolak oleh rumah sakit hanya karena ruang kelas 3 penuh atau karena tidak mampu membayar uang muka, maka di situ negara telah gagal menjalankan mandat konstitusi," ujarnya dalam keterangan tertulis, Kamis, (27/11/2025).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Edy menegaskan UUD 1945 telah menggariskan kewajiban negara secara eksplisit pada Pasal 28H ayat (1) yang menyatakan setiap warga negara berhak hidup sejahtera dan memperoleh pelayanan kesehatan.
Selain itu, Ayat (2) menegaskan bahwa rakyat harus memperoleh kemudahan dalam mengakses pelayanan tersebut dan Ayat (3) memastikan setiap orang berhak atas jaminan sosial, termasuk dalam pembiayaan kesehatan melalui skema JKN.
Lebih lanjut, Pasal 34 ayat (3) UUD 1945 juga menempatkan tanggung jawab negara secara langsung atas penyediaan fasilitas kesehatan yang layak. Dengan dasar ini, menurut Edy, tidak boleh ada satu rumah sakit pun yang menjadi tempat transaksi ketika nyawa berada di ujung tanduk.
"Fasilitas kesehatan adalah amanat negara untuk melindungi nyawa," ucapnya.
Edy juga menyoroti UU 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan telah mengatur dengan sangat jelas mengenai penanganan pasien gawat darurat. Pasal 174 mewajibkan seluruh rumah sakit milik pemerintah maupun swasta untuk mendahulukan penyelamatan nyawa dan mencegah kedisabilitasan.
Menurutnya, dalam pasal itu ditegaskan pula bahwa rumah sakit dilarang menolak pasien, dilarang meminta uang muka, dan dilarang menjadikan urusan administratif sebagai alasan menunda pelayanan.
"Ibu Irene datang dalam kondisi hendak melahirkan. Itu adalah definisi paling dasar dari kegawatdaruratan. Keempat rumah sakit yang menolak telah mengabaikan kewajiban hukum dan kewajiban moralnya," kata Edy.
Pelanggaran tersebut, lanjutnya, memiliki konsekuensi hukum yang sangat tegas. Pasal 438 Undang-Undang yang sama mengatur ancaman pidana hingga 10 tahun penjara atau denda mencapai Rp2 miliar apabila penolakan pasien gawat darurat berujung pada kematian.
Dengan demikian, dia menilai proses hukum harus berjalan tidak hanya untuk tenaga medis atau petugas di lapangan, tetapi juga terhadap pimpinan fasilitas kesehatan yang bertanggung jawab atas keseluruhan kebijakan dan tata kelola pelayanan.
"Saya meminta Polri turun tangan menangani kasus ini. Kematian seorang ibu dan bayinya bukan sekadar insiden, tetapi akibat dari pelanggaran hukum yang nyata," tegasnya.
Lebih lanjut, terkait alasan ruang kelas 3 yang penuh, Edy menegaskan bahwa peraturan telah menyediakan solusi sejak lama. Permenkes 28/2014 mengatur bahwa ketika ruang kelas 3 tidak tersedia, pasien harus dirawat di kelas 1 atau 2 tanpa pungutan biaya tambahan dan dititipkan ke kelas 1 atau 2 hingga ruang kelas 3 kembali tersedia.
"Dengan regulasi sejelas itu, permintaan uang muka Rp 4 juta untuk ruang VIP adalah bentuk pengabaian aturan. Rumah sakit tidak bisa menjadikan tarif sebagai palang pintu yang akhirnya merampas kesempatan hidup pasien," ujarnya.
Edy menekankan bahwa kasus ini mengungkap bobroknya penyelenggaraan JKN dan pengelolaan IGD di sejumlah daerah, khususnya di wilayah 3T seperti Papua. Lebih lanjut, dia menilai pemerintah bersama BPJS Kesehatan tidak boleh hanya hadir di atas kertas.
Menurutnya, petugas BPJS SATU yang ditempatkan di rumah sakit harus bekerja proaktif mengawasi situasi IGD, memastikan tidak ada peserta JKN yang ditolak, dan mengintervensi sejak awal jika terjadi hambatan pelayanan.
Selain itu, pemerintah pusat maupun daerah wajib memastikan adanya Desk Pengaduan yang aktif di lobi rumah sakit untuk membantu pasien mengakses rujukan cepat, termasuk menyediakan ambulans yang aman dan layak.
"Tidak ada alasan lagi bagi pemerintah untuk menunda pembenahan. Nyawa rakyat bukan angka statistik. Seorang ibu dan bayinya telah menjadi korban kegagalan sistem yang seharusnya melindungi mereka," ujar Edy.
Dengan demikian, Edy mendesak agar investigasi terhadap empat rumah sakit dilakukan secara transparan, menyeluruh, dan diumumkan kepada publik.
"Tragedi di Papua ini harus menjadi titik balik. Negara tidak boleh diam ketika hukum dilanggar dan rakyat menjadi korban. Penegakan hukum harus tegas, pengawasan harus diperkuat, dan keberpihakan kepada rakyat harus menjadi napas seluruh institusi kesehatan kita," pungkasnya.
(prf/ega)










































