Badan Pengkajian MPR RI menggelar Focus Group Discussion (FGD) untuk menyoroti Pasal 30 UUD NRI Tahun 1945 tentang pertahanan dan keamanan. Badan Pengkajian MPR menilai perlu adanya rumusan tambahan untuk mengatasi tantangan pertahanan dan keamanan di Indonesia.
"Dalam FGD-FGD sebelumnya dengan beberapa pakar, kami mendapat banyak masukan bahwa pendekatan dan cara pandang terhadap isu pertahanan dan keamanan dalam Pasal 30 UUD NRI Tahun 1945 adalah cara pandang lama yang mungkin tidak bisa kita gunakan lagi untuk menjawab tantangan yang kita hadapi saat ini," kata Wakil Ketua Badan Pengkajian Benny K. Harman dalam keterangan tertulis, Rabu (26/11/2025).
FGD ini dilakukan oleh Badan Pengkajian Kelompok V yang digelar di Tangerang Selatan, Selasa (25/11).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut Benny, para pendiri bangsa saat menyusun pasal 30 UUD 1945 (sebelum amandemen) secara sederhana melihat ancaman pertahanan dan keamanan karena perspektifnya adalah melindungi pemerintah, wilayah, dan rakyat dari ancaman fisik negara lain.
Ia melanjutkan bahwa setelah puluhan tahun, bentuk ancaman tidak fisik lagi. Negara lain tidak perlu menjajah secara fisik untuk menguasai, mengendalikan, dan merebut sumber daya alam.
"Cara pandang pertahanan dan keamanan kita tentu sudah berubah. Sebab itu, kita memerlukan adanya masukan gagasan dan pemikiran untuk Pasal 30 UUD NRI Tahun 1945 ini," ucapnya.
Kemudian, Ketua Program Studi Ilmu Politik Universitas Bakrie, Aditya Batara Gunawan juga berpendapat bahwa ancaman yang dihadapi Indonesia telah berubah. Misalnya, ancaman grey zone conflict sebagai arena konflik baru (ancaman keamanan dalam bentuk provokasi dengan instrumen non-militer), ancaman ekonomi, dan ancaman siber.
Aditya menegaskan spektrum ancaman yang multidimensional memerlukan pendekatan koheren. Sebab itu, diperlukan sistem terpadu dari interoperabilitas (TNI-Polri), kolaborasi TNI-Polri dan K/L (Kementerian/Lembaga), dan pertahanan total (K/L, publik, private).
Sementara itu, Staf Pengajar Departemen Ilmu Politik Universitas Bakrie, Anton Aliabbas memberi catatan terhadap Pasal 30 UUD NRI Tahun 1945. Menurutnya, penggunaan frasa "pertahanan dan keamanan" semakin mempertegas kekakuan tata kelola sektor keamanan (TNI untuk pertahanan, dan Polri untuk keamanan). Sebab itu, ia menyarankan frasa 'keamanan nasional' sebagai penggantinya.
Lalu, Director of Media Kernels Indonesia/Drone Emprit, Ismail Fahmi menyoroti perlunya arsitektur pertahanan siber nasional terpadu.
"Indonesia tidak memiliki National Cyber Defence Architecture yang jelas. TNI, Polri, BSSN, Kemkomdigi punya mandat bersinggungan, tetapi tanpa garis batas yang jelas, tidak ada standard operating doctrine tentang perang siber dan respon nasional. Ruang angkasa (satellite-based defence) belum punya dasar konstitusional eksplisit," ujarnya.
Ismail merekomendasikan agar ruang siber dan ruang angkasa diakui sebagai domain pertahanan negara sehingga negara wajib melindungi warga dan infrastruktur digital. Ia juga mendorong adanya dasar konstitusional untuk membentuk komando pertahanan siber nasional yang melibatkan TNI, Polri, BSSN, dan Kemkomdigi.
Simak juga Video: Badan Pengkajian MPR: Tidak Ada Pembahasan Kembali ke Amendemen UUD 1945











































