Ps Panit Subdit IV Ditreskrimum Polda Kepulauan Riau (Kepri) Iptu Yanti Harefa menekankan bahwa penanganan anak yang menjadi korban kekerasan seksual harus dilakukan secara tuntas. Dia mengungkap perlunya pemulihan korban secara sepenuhnya.
Iptu Yanti bercerita mengenai cara menangani anak korban kekerasan seksual dalam program Hoegeng Corner detikPagi, Selasa (25/11/2025). Dia menyebut butuh pendekatan khusus agar korban bisa terbuka tentang apa yang dialami.
"Saya rasa ini panggilan saya, pembina fungsi gitu kan, care. Karena itu, menjadi penyidik yang empati, simpati, ngerti terhadap korban, karena korban ini kadang dia merasa dirinya bukan korban. Ini memang tekniknya, triknya, memang kayak harus sabar, harus bisa pendekatan itu tadi, gimana pendekatan biar dia terbuka," kata Iptu Yanti.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Iptu Yanti berujar terkadang korban tidak terbuka dengan apa yang terjadi sebenarnya. Karena itu, dia melakukan teknis khusus agar korban bisa diselamatkan dan memiliki masa depan yang baik.
"Mungkin di saya anak ini hanya mengaku dengan satu orang dalam satu malam di hotel, ternyata udah dia dengan 2 orang, udah 8 kali. Seorang anak yang awalnya dia kekerasan, sekarang dia menikmati. Ini anak-anak penerus bangsa gimana, mau kita biarkan? Kita tindak aja pelakunya? Korban ini gimana, anak ini gimana masa depannya. Kalau nggak kita selamatkan, bagaimana? Nggak kita rehabilitasi, tidak kita reintegrasi dia, suatu saat bisa jadi pelaku," tutur dia.
Bagi Iptu Yanti, menjadi penyidik dalam kasus perempuan dan anak adalah panggilan. Walaupun terkadang berbagai tantangan harus dihadapi dalam pengungkapan kasus.
"Mungkin saya merasa ini passion saya, ini panggilan saya. Mungkin ini Tuhan tempatkan saya di sini bukan karena kebetulan, sehingga menjadi pembina fungsi ke polres, polsek jajaran. Kita ini Kepri, kepulauan, jadi nggak hanya daratan, kita ada 5 Polri di pulau terluar, ada Anambas, Natuna, Lingga," ucap dia.
"Nah, keterbatasan tadi, sebagai pembina fungsi, nah saya berpikir ini panggilan Tuhan menempatkan saya di sini. Saya sudah tahu di awal, kalau bukan saya yang mengerjakan tuh, siapa lagi. Ini di awal-awal pindah di PPA, di 2009, September," imbuhnya.
Sejak awal berkecimpung di PPA, Yanti sudah membuka jejaring. Sebab, kata dia, menangani kasus PPA butuh kerja sama dengan pihak lain seperti Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) hingga organisasi perempuan.
"Dari awal itu sampai sekarang, kita sudah punya jejaring, sudah jadi pembina fungsi. Saya berpikir, kalau perwira muda perempuan, kalau nangani perempuan dan anak, itu aslinya sebenarnya seru, tapi kita menghadapi dumas, keluhan masyarakat," sebutnya.
Dalam pengungkapan kasus perempuan dan anak ini, Iptu Yanti dan tim tidak hanya menindak pelaku. Dia juga memastikan pemulihan hak korban.
"Kita bisa menempatkan diri, ketika kita berhadapan dengan korban maka dalam hal penangan perempuan dan anak kita tidak bisa sembarangan, nggak bisa menstigma mereka, melabel, men-judge, korban yang awalnya tertutup, karena tidak semua korban merasa dirinya korban, mereka malu, mereka tertutup," ucap dia.
Iptu Yanti mengungkap bahaya jika korban tidak dipulihkan secara sepenuhnya. Dia menyebut korban bisa saja nantinya menjadi pelaku jika tidak segara dipulihkan.
"Karena jangan salah lho, awalnya mereka korban, suatu saat mereka akan jadi pelaku, karena setiap pelaku yang saya tanya latar belakang, dulunya mereka korban, kenapa mereka melakukan kekerasan terhadap anak, kenapa mereka mengeksploitasi anak, karena mereka dulunya korban yang tidak direhabilitasi, yang tidak diperhatikan. Kita perlu perlukan pemulihan terhadap anak, makanya kita harus kolaborasi yang kuat dengan instansi terkait, dan lembaga terkait," imbuhnya.
Iptu Yanti senantiasa menggandeng psikolog dalam penanganan korban. Salah satunya, kata dia, dalam menangani kasus balita yang menjadi korban kekerasan.
"Untuk konseling, kita butuh psikologi. Waktu itu saya pernah meriksa anak 1 tahun 8 bulan. Gimana caranya meriksa anak perempuan yang belum paham sekali, 1 tahun 8 bulan. Waktu itu saya nggak kehilangan akal, saya libatkan psikolog, saya bertanya ke psikolog, nanti psikolog bertanya kepada anak," ucap Iptu Yanti.
"Termasuk bagaimana pembuktian terhadap kekerasan seksual yang tidak ada saksi. Saat itu TPKS belum keluar, gimana ya caranya, berarti ini saya harus rujuk ke psikolog, karena tidak ada saksi. Untuk pembuktian ya itu, bagaimana sulitnya karena saksi tidak ada," pungkasnya.
(lir/knv)










































