Bandar Lampung - Krakatau memang sudah tidak seganas ketika dia memuntahkan isinya pada tahun 1883. Namun anaknya, yang dikenal dengan Anak Krakatau, meneruskan keperkasaan ibunya sebagai gunung berapi yang siap meletus kapanpun.Inilah yang menjadi daya tarik ibu dan anak itu. Sang ibu melegenda. Letusannya merupakan bencana besar pertama di dunia setelah penemuan telegraf bawah laut. Kini namanya telah berubah menjadi Rakata.Anaknya yang masih aktif, tidak kalah terkenalnya. Wajar jika banyak wisatawan penasaran menatap langsung keberadaan mereka di Selat Sunda.Tidak mudah untuk mencapai keduanya. Dari Pelabuhan Bakauheuni, Lampung, dibutuhkan sekitar 4 jam untuk mendekatinya. Itu juga dengan menggunakan kapal feri yang disediakan hanya pada waktu-waktu tertentu saja, seperti pada ajang tahunan Festival Krakatau. Sementara dari Ujung Kulon, Banten, dibutuhkan waktu 2 jam dengan
speedboat.Nah,
detikcom berkesempatan menatap langsung Sang Legenda 1883 dan anaknya pada Minggu 26 Agustus 2007. Kebetulan hari itu bertepatan dengan puncak Festival Krakatau XVII yang berlangsung sejak Kamis 23 Agustus 2007.Bersama rombongan, kami berangkat dari Saburai ke Bakauheuni dengan menggunakan bus, pagi-pagi sekali. Berangkat pagi-pagi, apalagi menempuh jarak yang cukup jauh, 2 jam perjalanan, membuat mata mengantuk. Padahal pemandangan di luar bus cukup indah menjelang pelabuhan Bakauheuni. Bukit-bukit menjulang di hamparan laut nan luas.Dari kejauhan, Kapal Raja Basa I terlihat sudah menanti kami di Dermaga IV Pelabuhan Bakauheuni. Rupanya, bukan hanya rombongan kami yang berkesempatan menjenguk dua karya Yang Maha Agung tersebut. Ratusan orang sudah bersiap-siap masuk ke kapal besar itu.Sekitar pukul 09.42 WIB, terdengar bunyi klakson kapal. Toott... Toooottt... Wah! Itu tanda kapal akan berangkat. Rasanya sudah tidak sabar bertemu dan mengabadikan sisa peninggalan Kratakau yang disebut Rakata dan Anak Gunung Krakatau dengan
handycam dan kamera.Jujur saja, agak bosan berada di dalam kapal. Tidak ada kegiatan yang bisa dilakukan, kecuali mengobrol dengan teman, atau baca buku. Jika bosan juga, paling cuci mata melihat pemandangan di sekitar yang penuh dengan bukit-bukit nan hijau.Selagi asyik menikmati pemandangan, dari kejauhan terlihat gunung tertutup kabut. Itukah Anak Krakatau yang terkenal itu? Kamera dan
handycam pun disiapkan. Jepreettt... Wah indahnya meski dari jauh dan masih tertutup kabut. Rupanya, banyak juga penghuni kapal yang memotretnya. Bahkan ada juga yang sibuk meneropong dengan teropong."Subhanallah... Indahnya," begitu decak kagum seorang ibu memuji karya Sang Pencipta itu.Jarak antarkapal makin dekat dengan gundukan tanah menjulang tersebut. Tapi... lho... lho... lho... kenapa kapal kok cuma permisi lewat saja?Walah, rupanya itu bukan Anak Krakatau. Begitulah kalau sok menebak-nebak dan malas bertanya. Rupanya Anak Krakatau masih nun jauh di depan. Melirik jam, tidak terasa sudah pukul 10.30 WIB.Sambil menertawakan kebodohan sendiri, kami kembali menikmati pemandangan yang ada. Rupanya, teman-teman yang duduk-duduk di lambung kapal sebelah kiri sudah heboh melihat Rakata dan Anak Krakatau. Waduh, kami pun tergopoh-gopoh pindah tongkrongan.Dan benar saja, di depan sana terlihat Anak Krakatau nan hitam gosong berdampingan dengan Rakata yang sudah ditumbuhi pohon. Di sebelah kirinya lagi terdapat Pulau Panjang. Indah...Kapal terasa bergerak lamban. Rasanya sudah tidak sabar berada di dekatnya. Malah berharap kapal bisa bersandar di kaki Rakata.Sekitar pukul 12.30 WIB, akhirnya kapal mendekati Anak Krakatau. Namun sayang, Raja Basa I ini tidak merapat. Musnah harapan bisa menduduki kakinya. Kapal hanya mengitarinya dan diam selama 30 menit di tengah-tengah Anak Krakatau dan Rakata."Saat ini kita sedang berada di kawah Krakatau. Kapal akan bergerak sangat pelan sehingga bapak-bapak dan ibu-ibu bisa mengabadikannya," begitu bunyi pengumuman yang terdengar di pengeras suara kapal.Anak tubuhnya ramping menjulang meski puncaknya tidak mengerucut. Sosoknya gahar, hitam legam seperti habis hangus terbakar. Tandus. Di puncaknya terlihat arsiran putih yang tampak seperti aksesoris yang menambah gagah penampilannya. Tidak ada pohon yang tumbuh di badannya. Hanya secuil saja pohon yang terlihat tumbuh hijau di kakinya."Wah, gosong banget ya. Itu ada kawahnya atau apa ya... Kayak bopeng begitu," ceplos seorang ibu kepada suaminya. Sementara suaminya sibuk memainkan tombol kameranya berkali-kali. Jepret... Jepret!Menurut keterangan pemandu di kapal feri, Anak Krakatau merupakan anak Gunung Krakatau yang meletus tahun 1883. Dia muncul ke permukaan laut di Selat Sunda pada tahun 1928. Seperti anak manusia yang terus tumbuh, Anak Krakatau juga tumbuh semakin tinggi menjulang di selat yang menghubungkan Sumatera dengan Jawa.Sementara Rakata berdiri di sebelah Anak Krakatau. Rakata merupakan sisa bagian Gunung Krakatau 1883 yang tidak lenyap. Saat ini gunung tersebut malah subur dipenuhi dengan pohon-pohon hijau seperti gelagah dan cemara laut tumbuh subur memenuhi tubuhnya.Pemandangan sangat kontras dengan anaknya. Puncaknya tetap lancip meski tubuhnya melebar.Berdekatan dengan Rakata, ada Pulau Panjang. Pulau ini sama sekali tidak memiliki bukit tinggi. Hanya hamparan pohon hijau yang lebat memenuhi tanahnya.Cukup senang mendapat kesempatan 30 menit berada di kawah Krakatau. Kesempatan tersebut dimanfaatkan rombongan untuk berpose dengan latar belakang Anak Krakatau dan Rakata. Semua sibuk dengan kamera dan pose masing-masing. Hingga tidak terasa kapal mulai beranjak putar haluan.Ya, perlahan tapi pasti kami meninggalkan ibu dan putranya itu yang tak pernah meninggalkan Selat Sunda itu. Sementara kapal membawa kami kembali ke Bakauheuni, bayangan dua keagungan Tuhan itu masih mencantol di pelupuk mata.
(ana/sss)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini