Ketua Kelompok DPD RI di MPR RI Dr Dedi Iskandar Batubara mengatakan kebijakan pemerintah pusat harus berpihak kepada daerah. Dedi secara khusus mengingatkan untuk mengantisipasi dampak negatif dari kebijakan pemotongan dana transfer ke daerah (TKD). Menurut Dedi, pemotongan TKD dapat berdampak positf dan negatif.
"Bagi kami di DPD RI, jangan sampai kebijakan menimbulkan gejolak. Ini yang kami khawatirkan," ujar Dedi, dalam keterangan tertulis, Sabtu (22/11/2025).
Hal tersebut ia sampaikan seusai Diskusi Publik Kelompok DPD RI di MPR RI bertajuk 'Masa Depan Otonomi Daerah di Tengah Polemik Pemotongan TKD dan Kemandirian Fiskal' di Hotel Aston, Bintaro, Tangerang Selatan, Banten, Jumat (21/11). Senator dari Provinsi Sumatera Utara (Sumut) itu menekankan pentingnya mengantisipasi implikasi negative dari pemotongan TKD.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Jangan sampai pilihan kebijakan itu menambah masalah, bukan menyelesaikan masalah," ujar Dedi.
Meski begitu, Dedi memahami kebijakan pemerintah terkait pemotongan TKD. Ia berharap ketika pemerintah nanti mengeluarkan kebijakan baru maka program baru tersbeut harus berorientasi pada pencapaian kesejahteraan daerah sekaligus menjaga pembangunan di daerah agar tetap terlaksana dengan baik.
"Ini saya kira semua daerah akan happy (senang)," ujar Dedi.
Dedi menyetir pandangan para pakar bahwa ada kemungkinan dampak kebijakan pemotongan TKD adalah daerah bisa akan menyerah dan tidak bisa melakukan apa-apa.
"Kemungkinan lainnya adalah daerah justru makin baik, karena ada tantangan, kepada daerah harus berinovasi dengan potensi yang dimilikinya," ujar Dedi.
Dedi menyebut kasus di Kebupaten Pati, Jawa Tengah (Jateng) pada Agustus 2025 lalu menjadi pelajaran penting ketika kepala daerah menaikkan pajak, ternyata masyarakat di daerah bereaksi karena membebani mereka.
Oleh karena itu, Dedi menekankan agenda otonomi daerah merupakan bagian dari reformasi yang masih terus diperbaiki tata kelolanya.
"Oleh karena itu, kami berharap pemerintah pusat memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada daerah untuk tumbuh dan berkembang serta TKD harus dipenuhi oleh pusat," ujar Dedi.
Perlemah Posisi Daerah
Dalam pembukaan diskusi publik, Dedi mengatakan pemotongan anggaran TKD makin memperlemah posisi Pemerintah Daerah (Pemda) yang selama ini banyak menggantungkan pada dana pusat.
Menurut Dedi, berdasarkan data Kementerian Dalam Negeri RI dari 546 daerah otonom, ada 400 daerah tidak mandiri sedangkan 100 daerah bisa mandiri secara fiskal.
Oleh karena itu, menurut Dedi, tidak heran kalau postur anggaran APBD 70% berasal dari anggaran TKD yang terdiri Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), Dana Bagi Hasil (DBH), dan dana desa, sedangkan yang 30% anggaran berasal dari Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Dedi mengatakan kebijakan pemangkasan TKD juga keluar dari semangat yang terkandung dalam Pasal 18 A Ayat (2) UUD NRI 1945 yang menghendaki adanya hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfataan sumber daya alam dan sumber daya lainnya antara pemerintah pusat dan daerah dilakukan secara adil dan selaras berdasarkan undang undang.
"Namun, faktanya terlihat sekarang 80% uang APBN perginya ke pemerintah pusat, sedangkan yang 20% ke daerah sehingga terjadi ketidakadilan fiskal," ujar Dedi.
Lebih lanjut, Dedi mengatakan kebijakan pemerintah pusat memangkas dana transfer ke daerah sebenarnya ada positifnya juga karena dapat menjadi evaluasi bagi daerah agar bisa transparan dan akuntabel dalam menggunakan anggaran daerah.
Dengan demikian, tidak ada lagi dana triliunan yang mengendap di bank karena keterlambatan eksekusi terhadap program-program prioritas daerah.
"Selain itu, juga memacu daerah untuk menumbuhkan ekonomi dan memperkuat kemandirian fiskal terutama bagi daerah-daerah yang punya potensi sumber daya alam seperti migas, pariwisata ataupun perindustrian untuk lebih kreatif dan inovatif dalam mencari sumber-sumber anggaran lain untuk menaikkan PAD," kata Dedi.
"Untuk menengahi dilema antara pemangkasan TKD dan keinginan mewujudkan kemandirian fiskal daerah, pemerintah pusat dan daerah perlu duduk bersama agar ada kesepahaman bersama dalam pengambilan kebijakan soal anggaran daerah sehingga tidak ada yang dirugikan ataupun ditinggalkan karena bagaimanapun daerah juga punya hak atas dana transfer ke daerah," sambungnya.
Oleh karena itu, kata dia, pemerintah pusat perlu mengambil kebijakan yang lebih bijaksana seumpama pemangkasan TKD bersifat parsial yaitu diperuntukkan bagi pemerintah daerah yang gagal menjalankan tata kelola keuangan yang baik. Serta, dilakukan pengawasan dan pembinaan kepada daerah secara intens sampai pemerintah daerah bisa memperbaiki tata kelola keuangannya.
"Dengan melihat ramainya polemik pemangkasan TKD serta keinginan perlunya kemandirian fiskal bagi daerah, diharapkan diskusi publik siang ini ada ide-ide segar yang bisa dihasilkan sehingga bisa menjadi solusi agar terwujud adanya keadilan fiskal baik bagi pemerintah pusat maupun daerah," ujar Dedi.
Sebagai informasi, diskusi publik ini menghadirkan lima narasumber pakar atau ahli, Dr Cheka Vigowansyah (mewakili Wakil Menteri Dalam Negeri RI Bima Arya Sugiarto); Guru Besar Administrasi Publik UI Prof Dr Irfan Ridwan Maksum; Bupati Bojonegoro Periode 2008-2018 Dr Suyoto; Anggota K3 MPR RI Dr Suhirman Madjid; dan Dosen Ekonomi Pembangunan UPN Veteran Jakarta Dr Indri Arrafi Juliannisa.
Sementara itu, hadir dari unsur Kelompok DPD RI di MPR yaitu Bendahara Kelompok DPD MPR dari Provinsi Maluku Anna Latuconsina; Dr Habib Ali Alwi; Anggota MPR/DPD RI-Provinsi Papua Pdt David Harold Waromi, Sm, Th; dan Anggota MPR/DPD RI-Provinsi Papua Tengah Eka Kristian Yeimo.
(akn/akn)










































